Rabu, 30 Mei 2012

Sistem pendidikan Pesantren tradisional sebagai alternative pola pendidikan Islam di Indonesia (Studi pada pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta) 28/10/2009 — Dunia pesantren

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Menurut Nurcholis Madjid, secara histori pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia[1]. Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini.
Akar-akar historis keberadaan pesantren di Indonesia dapat di lacak jauh ke belakang, yaitu pada masa-masa awal datangnya Islam di bumi Nusantara ini dan tidak diragukan lagi pesantren intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan[2].
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama   (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya. Hal ini terus di pertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun. Bahwa kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu hal itu merupakan suatu yang wajar sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan. Jadi, modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi tren, dengan balutan pendidikan moderen, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia  “character building” bangsa Indonesia.[3]
Adapun pada hari-hari kemarin banyak opini negatip terhadap eksistensi pesantren, bahwa pesantren dinilai tidak responsip terhadap perkembangan zaman, sulit menerima perubahan (pembaharuan), dengan tetap mempertahankan pola pendidikannya yang tradisional (salafiyah) pesantren menjadi semacam institusi yang cenderung ekslusif dan isolatif dari kehidupan sosial umumnya. Bahkan lebih sinis lagi ada yang beranggapan pendidikan pesantren tergantung selera kyai. Masih banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap pesantren. Hal ini muncul karena memang banyak orang tidak mengenal dan tidak mengerti tentang pondok pesantren, sehingga mereka mempunyai penilaian yang salah terhadapnya.
Sesuai dengan Keputusan bersama Dirjen Binbaga Islam Depag dan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/C/Kep/DS/2000 tentang Tentang Pedoman Pondok Pesantren Salafiyah,  Pondok Tradisional yang dalam bahasa sering di sebut sebagai Pesantren Salafiyah adalah salah satu tipe pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran pengajian Al Qur’an dan kitab kuning secara berjenjang atau madrasah Diniyah yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya menggunakan kurikulum khusus pondok pesantren.
Di samping itu pula, perjalanan panjang sejarah pesantren di Indonesia di tengah kebijakan Pendidikan Nasional sejak masa penjajahan hingga era awal pemerintahan orde baru membawa pesantren pada posisi termarjinalkan. Sehingga jika dikatakan, seandainya Indonesia tidak pernah di jajah, pondok pesantren-pondok pesantren tidaklah begitu jauh terperosok ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil seperti sekarang, melainkan akan berada di kota-kota atau pusat kekuasaan dan ekonomi, sebagaimana terlihat pada awal perkembangan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan agama yang amat kosmopolit dan tentunya pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh pondok pesantren. Sehingga perguruan tinggi di Indonesia mungkin akan mewujud dari Tremas, Krapyak, Al-Muayyad, Tebuireng, Lasem dan sebagainya.
Eksistensi Pesantren ternyata sampai hari ini, ditengah-tengah deru modernisasi, pesantren tetap bisa bertahan  (survive)dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Di samping banyak juga pendidikan umum yang mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan pesantren seperti yang di lakukan oleh SMU Madania di Parung, SMU Insan Cendekia-nya BPPT (sekarang MA Unggulan-nya Departemen Agama RI) di Serpong. Assalam di Surakarta, Ketiganya mengadopsi sistem asrama dengan menyebutnya “boarding school”. Sistem”boarding” tentu saja merupakan salah satu karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren.
Satu hal lagi yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, dilahirkan oleh pondok pesantren.
Kalau demikian adanya, tidak berlebihan jika kita mengakui bahwasannya pendidikan pesantren mampu menciptakan generasi yang berinteregitas tinggi, bertanggung jawab atas ilmu yang di perolehnya- meminjam istilah pesantrennya “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”, sadar akan penciptaannya sebagai kholifah di bumi. Maksudnya manusia dijadikan kholifah dibumi dan bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, yaitu Allah. Sehingga akan tetap berada dalam koridor pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia maksudnya agar manusia dan jin menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktifitasnya sebagaipengabdian kepada Allah, Sang Kholiq.
Ada beberapa nilai fundamental pendidikan pesantren yang selama ini jarang dipandang oleh kalangan yang menganggap dirinya modern, antara lain:
(1) komitmen untuk tafaquh fi ad-din, nilai-nilai untuk teguh terhadap konsep dan ajaran agama; (2) pendidikan sepanjang waktu (fullday school); (3) pendidikan integrative dengan mengkolaborasikan antara pendidikan formal dan nonformal (pendidikan seutuhnya, teks dan kontekstual atau teoritis dan praktis; (5) adanya keragaman, kebebasan, kemandirian dan tanggungjawab; (6) dalam pesantren diajarkan bagaimana hidup bermasyarakat.[4]
Setelah melalui beberapa kurun waktu, pesantren tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya. Sebagai lembaga pendidikan indigenous, menurut Azra, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.[5]
Setelah kita mengetahui hal itu, kemudian mengapresiasinya sehingga kita dapat menemukan pola pendidikan pesantren yang bisa dijadikan referensi bagi pendidikan masa depan. Inilah yang akan menjadi kajian penelitian ini dengan menampilkan profil sebuah pondok pesantren tradisional yang cukup tua di Nusantara ini, yaitu Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Dalam usianya yang hampir seabad, dengan tetap menyandang identitas tradisionalnya, pondok ini tetap berdiri “megah” dan telah “mencetak” ratusan pemimpin umat yang tersebar diseluruh pelosok Nusantara.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas , maka masalah yang hendak dikaji disini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah perjalanan sejarah lembaga pondok pesantren Al- Muayyad Surakarta dari masa-kemasa ?
  2. Seperti apakah profil Pondok  pesantren Al-Muayyad Surakarta sebagai salah satu pondok pesantren tradisional yang relatif tua, namun tetap eksis hingga saat ini?
  3. Mengapa pola pendidikan pesantren Al-Muayyad dapat dijadikan alternatif dalam rangka mencerdaskan umat ?
C.     Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Dari rumusan  masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
  1. Menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan  pondok pesantren di Nusantara serta dinamikanya di tengah kebijakan penguasa pemerintahan yang melingkupinya.
  2. Menggambarkan bahwa tidak semua lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren  tertinggal di tengah-tengah deru modernisasi. Tetapi justru menunjukkan ekssistensinya yang dinamis, baik kelembagaan maupun sistem pendidikannya, sebagai contoh adalah Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta.
  3. Melihat secara  kritis nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren  yang mampu menciptakan generasi yang cerdas akal (otak), emosi, sosial dan spiritualnya sehingga menjadi generasi yang unggul, berintregitas tinggi dan penuh kemandirian.
Dengan memperhatikan hasil penelitian ini secara menyeluruh maka kita akan dapat mengambil manfaat sebagai berikut :
  1. Memberikan kontribusi pada khasanah keilmuan  Islam dalam studi  pendidikan Islam, khususnya tentang sejarah lembaga pendidikan Islam tradisional, yaitu pesantren.
  2. Memberikan kontribusi pemikiran  kepada praktisi dan atau institusi-institusi yang berkompeten terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
D.     Telaah Pustaka
Sejak paruh abad ke 20 hingga hari ini, sosok dan dunia pesantren telah menarik perhatian para akademisi untuk dijadikan bahan studi dan fokus telaah ilmiahnya dan telah terbit sejumlah karya tulis-karya tulis tentang pesantren di kaji dari berbagai sudutnya. Berkaiatan dengan fokus kajian penelitian ini yakni tentang pola pendidikan pesantren, berikut ini penulis paparkan beberapa studi lain sebgai acuan antara lain :
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia bermula dari sistem pesantren di surau-suaru kecil, kemudian bergeser ke sistem madrasah dan akhirnya sekolah, perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam tersebut tidak lepas dari dari tuntutan perkembangan zaman yang dihadapinya. Namun proses perubahan ini bukan suatu peristiwa yang lancar dan mulus tanpa perselisihan pendapat di antara mereka yang terlibat didalamnya. Latar belakang politik pendidikan kolonial ikut menentukan ketegangan perubahan dari tradisi yang sangant kukuh ke cara modern yang mendesak. Di sini karel berupaya untuk menuntut dinamika sistem pendidikan Islam di Indonesia mulai dari pesantren yang kemudian bergeser ke sistem madrasah dan akhirnya menjadi sekolah, dengan mengadakan penelitian ke berbagai pesantren di berbagai pesantren di Sumatera dan Jawa.
Zamaksari Dhofir dalam desertasinya yang berjudul The Pesantren Tradition : A Study the Role of the Kiai in Maintenance of the Traditional Idiologi of Islam in Java (1980) yang telah di terbitkan oleh LP3ES pada tahun 1982 dengan judul Tradisi Pesantren : Sudi tentang Pandamgan Hidup Kyai. Membahas secara rinci peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan paham Islam tradisional di Jawa[6] yang disebutnya sebagai tradisi pesantren. Dalam tulisannya Dhofir juga mengungkapkan adanya berbagai macam jaringan (net work) yang sengaja diciptakan oleh para kyai sebagai upaya  mempertahankan tradisi pesantren tersebut. Jaringan  itu antara lain berupa jaringan transmisi ilmu sehingga membentuk geneologi intelektual, ataupun jaringan kekerabatan melalui sistem perkawinan yang endogamous. Hal-hal demikian di jelaskan setelah berlebih dahulu menguraikan tentang pola umum pendidikan pesantren dan elemen-elemen pokok sebuah pesantren yang terdiri dari pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai. Hal ini dapat membantu kita mengenal anatomi kehidupan pesantren yang sangat rumit. Dalam kajiannya ini Dhofir meneliti dua pesantren yang berbeda sistem maupun kelembagaannya yaitu pesantren Tegalsari di Kabupaten Semarang  Jawa Tengah dan pesantren Tebuireng di Jombang Jawa Timur.
Mastuhu yang yang berjudul  Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Dalam kajian ini Mastuhu berusaha meningkatkan gerak perjuangan pesantren didalam memantapkan identitas dan kehadirannya ditengah-tengah kehidupan bangsa yang sedang membangun ini. Menurutnya, pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam harus dapat menjadi salah satu  pusat studi  pembaharuan pemikiran Islam. Untuk itu, ia berusaha menemukan butir-butir positif dari sistem pendidikan pesantren  yang kiranya berlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional, dan butir-butir negatif yang kiranya tidak perlu lagi dikembangkan karena tidak  sesuai lagi dengan tantangan zamannya, serta butir-butrir mana dari sistem pendidikan pesantren yang sekiranya perlu di perbaiki lebih dahulu sebelun dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan system pendidikan pesantren dalam menyongsong masa depannya.[7] Dengan meneliti 6 pesantren, ia menggunakan pendidikan sosiologis-antropologis dan fenomenologis dengan harapan dapat menembus tabir rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren sehingga dapat mengembangkannya dalam sistem pendidikan nasional.
Namun dalam kajian ini tidak di singgung pengaruh sistem pendidikan dalam sejarah perjalanan pendidikan nasional. Padahal, sebagai mana di katakana oleh Ki Hajar Dewantoro Bapak Pendidikan Nasional kita bahwa sistem pondok dan asrama itulah sistem pendidikan nasional.[8] Juga pemikiran Soetomo salah seorang cendikiawan sebelum kemerdekaan yang menganjurkan agar azas-azas sistem pendidikan pesantren di gunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia.[9] Dalam sejarah pertuumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genous. Dikalangan umat Islam sendiri pesentren sedemikian jauh telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan baik dari sisi tradisi keilmuannya maupun pada sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat. Hal inilah yang perlu di kaji lebih lanjut.
Supriyadi dalam tesisnya yang berjudul, Strategi Peningkatan Mutu pendidikan dengan metode Pondok pesantren. (Studi Kritis tentang Manajemen di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Kismantoro Wonogiri) mengatakan bahwa Pesantren mempunyai perbedaa-perbedaan strategi dan metode dalam meningkatkan mutu pendidikannya dan sekaligus memepertahankan sebagaimana lembaga pendidikan dalam era globalisasi.[10]
Dari hasil eksplorasi penulis terhadap  berbagai sumber dan bahan pustaka tidak atau belum menjumpai pembahasan yang spesifik sama dengan permasalahan yang akan di sajikan dalam penelitian ini,  yaitu dengan pendekatan historis sosiologis-fenomenologis penulis akan berusaha mengkaji nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren, yaitu Pondok Pesantren  Al-Muayyad Surakarta termasuk pesantren tradisional yang lumayan tua yang tidak kecil peranannya dalam ikut serta mencerdaskan umat serta menjadikannya sebagai sebuah alternatif sistem pendidikan Islam yang dapat terwujudnya generasi unggul.
E.     Kerangka Teori.
Pendidikan telah di identifikasikan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia (welthanchaung) masing-masing. Namun pada dasarnya, semua pandangan yang berbeda, itu bertemu dalam semacam kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untk menjalankan kehidiupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efesien.
Dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam ke -1 di Makkah tahun 1977 disebutkan bahwa pendidikan mencakup tiga  pengertian sekaligus, yakni ta’lim, ta’dib dan tarbiyah.[11] Jadi ada tiga istilah yang diartikan dengan pendidikan. Menurut ‘Abd al Fatah Jalal, istilah ta’lim lebih tepat untuk menunjuk konsep pendidikan menurut Al Qur’an, karena istilah tersebut mengandung makna lebih luas dari pada tarbiyah.[12] Sedangkan  Syed Muhammad Al Naquid al Attas berpendapat bahwa istilah ta’dib lebih tepat untuk menunjuk pengertian pendidikan. Konsep ta’dib mencakup integrasi antara ilmu dan amal sekaligus.[13] Adapun istilah tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu : pertama kata robba-yarbu yang berarti zada wa nama atau (bertambah dan tumbuh), seperti terdapat dalam Al Qur’an Surat Ar Rum 39. kedua, kata robiya-yarubbu dengan mengikuti wazan mada yamuddu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara. Ketiga, merujuk pada mufrodad al fadz al Quran,[14] kata tarbiyah merupakan akar kata robb yang berarti mengembangkan sesuatu.[15]
Kata tarbiyah itu sendiri mengandung empat unsur nilai, yaitu: 1) menjaga dan memelihara fitrah manuasia: 2)  mengembangkan seluruh potensi; 30 mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan ; 40 dilaksanakan secara bertahap. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tarbiyah (pendidikan) merupakan usaha mengembangkan seluruh potensi anak didik secara bertahap menuju kesempuraan.
Pengertian tentang pendidikan yang lebih rinci sesuai dengan konteks sekarang, diberikan oleh Zarkowi Soejati sebagaimana dikutip oleh A.Malik Fajar bahwa pendidikan Islam mempunyai pengertian : pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan penyelengaraan di dorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk  mengejawantahkan nilai-nilai Islam baik yang tercermin dalam nama lembaga maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Disisi lain, kata Islam di tempatkan sebagai sumber nilai yang akan di wujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikannya. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Disini, kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan seperti ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian itu. Disini, kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai, juga sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi.[16]
Dari Pengertian ini kiranya bisa lebih dipahami bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri kas, melainklan lebih mendasar lagi, yaitu tujuan yang diidamkan dan di yakini sebagai yang paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya diistilahkan sebagai “insan kamil“ atau manusia paripurna. Hal ini dapat terwujud dengan upaya mengembangkan kepribadian manusia yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologi dan fisiologis.
Perumusan tujuan ini menjadi penting artinya bagi proses pendidikan, karena dengan adannya tujuan yang jelas dan tepat, maka arah proses pendidikan ini akan jelas dan tepat pula. Tujuan pendidikan Islam dengan jelas mengarah kepada  terbentuknya insan kamil yang berkepribadian muslim, merupakan perwujudan manusia seutuhnya, taqwa, cerdas, baik budi pekertinya (beraklaq mulia) terampil, kuat kepribadiannya, berguna bagi agama, diri sendiri, dan sesama. Oleh karena itu, pendidikan Islam mestinya dapat mengarahkan semua potensi yang ada dalam diri manusia dalam segala aspek kehidupan, yaitu :
  1. Terpadu antara Dunia dan Ukrowi
Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan diatas, maka sistem pendidikan berorientasi pada persoalan dunia dan akhirat sekaligus. Meskipun dalam prakteknya cukup banyak lembaga-lembaga Islam yang cenderung mementingkan demensi keakhiratan semata, daripada keduaniawian. Ini terjadi karena kehidupan ukrowi di pandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan duniawi bersifat sementara, bukan yang terakhir. Namun demikian, pada dasarnya pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut. Kita tidak bisa mengabaikan begitu saja. Aspek keduniawian, karena sebagai manusia yang mengemban tugas kekholifahan di muka bumi ini harus pula membekali dengan ilmu-ilmu keduniawian dan perkembangannya sehinggga dapat memenuhi tugas itu secara maksimal.
Dikotomi antara dunia dan akhirat , dikotomi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, materialisme dan orientasi nilai-nilai ilahiah semata ,justru akan melahirkan manusia yang berkepribadian terbelah (split personality). Mereka yang memilih keberhasilan di alam ‘vertikal’ cenderung berfikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya “dimarjinalkan”. Hasilnya mereka unggul dalam kekhusyuan dzikir dan kekhidmatan berkontemplasi namun kalah dalam percaturan ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan di alam “horizontal” begitupun sebaliknya yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berfikirnya tidak pernah diimbangi dengan kekuatan dzikir. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidah memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya (zero mind[17] Padahal sistem pendidikan Islam menekankan pada pembentukan kepribadian yang berujung pada fitrah dasar manusia untuk ma’rifah Allah dan bertaqwa kepada-Nya, seperti diungkapkan oleh Muhammad Fadhil Al- Jumaly yang dikutip oleh Mastuhu, menunjukkan keterikatan duniawiyah dan ukrowiyah sekaligus.
Karena itu, salah satu prinsip sistem pendidikan Islam adalah keharusan untuk menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia yang meliputi dimensi jasmani-ruhani dan semua aspek kehidupan, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang hanya diimani melalui kalbu, bukan hanya lahiriyahnya saja tetapi juga batiniyahnya.[18]
  1. Terpadu antara ranah kognitif, afektif dan psikomotorik
Hakekat pendidikan adalah suatu usaha mengantarkan peserta didik untuk dapat menggali potensi didrinya menjadi suatu realitas yang real. Oleh karena itu, kegiatan dan proses belajar mengajar dalam suatu pendidikan adalah penumbuhan dan pengembangan peserta didik sesuai dengan hakekat potensialnya tersebut.dalam pengembangan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik, dipahami bahwa suatu pendidikan yang baik harus menjawab tiga ranah kemanusiaan yakni ranah kognitif (intelektual) ranah afektif (emosional) dan ranah psikomotorik. Tidak ada proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu diantara ketiga ranah tersebut. Pendidikan yang cenderung pada ranah kognitif akan melahirka generasi yang genius secara intelektual tetapi kering emosional dan rendah kualitasnya.
Pengetahuan kognitif dan diikuti kesadaran emosi saja tidak dapat menggali potensi realitas secara optimal, namun harus di ikuti dengan penggarapan ranah psikomotorik. Dengan pengetahuan dan kesadaran yang tercipta karena kepemilikan pengetahuan intelektual dan memiliki keinginan untuk berbuat oleh adanya dorongan emosional, tetapi tidak dapat benar-benar terwujud suatu tindakan yang nyata akibat tidak tergarapnya ranah psikomotorik. Penggarapan ranah psikomotorik terkait dengan pengembangan etos kejujuran, kerja keras, profesional, kesopanan, dan sosial-filantropik dalam bentuk disiplin dan latihan-latihan nyata.
Dengan demikian pendidikan Islam, dalam prosesnya, menyertakan program intensif peningkatan intelektual dan menghidupkan aspek spiritual yang akhirnya dapat menjadi modal untuk hidup dalam kebudayaan bangsa yanh selalu berkembang seiring pencapaian kemajuan peradapan manusia.
F.     Metode Penelitian
Studi ini bukan hanya penelitian kepustakaan dan bukan pula kegiatan penelitian lapangan an sich, tetapi merupakan gabungan antara keduanya. Dalam studi ini, telaah pustaka penulis lakukan sejak awal ketika hendak menentukan topik yang akan menjadi fokus kajian dan ketika hendak melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dari lapangan. Kegiatan ini juga dilakukan untuk memperoleh data yang bersumber dari kepustakaan. Sedangkan penelitian lapangan diawali dengan kegiatan penjajakan, untuk mengetahui relevansi antara obyek yang hendak di teliti dengan permasalahan studi ini.
Penelitian ini mengkaji tentang lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia, yaitu pesantren dengan menfokuskan kajian pada nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren yang membentuk pola tersendiri dengan memilih obyek penelitian di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan model grounded research yang mendasarkan analisisnya pada data dan fakta yang ditemui di lapangan, bukan melalui ide atau teori yang ada sebelumnya yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang di peroleh secara sistematik dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan.[19] Ciri khas pendekatan kualitatif ini terletak pada tujuannya untuk mendiskripsikan kasus dengan memahami makna dan gejala. Dengan kata lain pendekatan kualitatif ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasarkan pada perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.
Data diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen cetak dan peristiwa-peristiwa lainnya tertulis maupun tidak tertulis serta informan yaitu kyai, ustadz, santri, alumni dan tokoh terkait, formal maupun informal.
Pengumpulan datanya dilakukan dengan cara :
1.      Riset kepustakaan, yaitu pengumpulan data referensi-referensi tertulis, meliputi buku-buku tentang pesantren, pendidikan Islam pada umumnya dan dokumen tertulis yang berkaitan dengan topik penelitian.
2.       Pengamatan terlibat (participant observation) yaitu pengamatan langsung pada obyek penelitian tanpa intervensi eksistensinya dan terjadi interaksi antara peneliti dan informan.
  1. Wawancara terbuka (open interview) dan mendalam, langkah ini dilakukan untuk memperoleh jawabann yang tidak di batasi dari informan. Interview merupakan proses interaksi antara pewancara dan responden yaitu informan.[20]
Adapun subyek penelitian ini adalah pimpinan Pondok Pesantren Al-Muayyad, penelitian ini tidak menggunakan responden tetapi memilih informan karena pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah pimpinan Pondok, beberapa ustadz, para santri dan beberapa alumni, serta tokoh masyarakat terkait.
Data yang ada kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, berdasarkan pendekatan historis[21]dan sosiologis[22], fenomologis[23]. Sebagai landasan filosofis dari analisis data tersebut adalah kualitatif rasionalistik dengan metode berpikirnya menggunakan deduktif-induktif dan atau reflektif, yaitu abstraksi dari gabungan deduktif-induktif secara mondar-mandir melalui berpikir horizontal-devergen, berdasarkan atas landasan kualitatif rasionalistik[24]. Dalam studi literature (riset referensi) metode perpikir deduktif dan analistis banyak dipergunakan, sebaiknya dalam studi lapangan metode berpikir induktif dan komparatif lebih banyak dipergunakan.
  1. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar penelitian ini ditulis dalam lima bab seperti berokut ini :
Bab I, Pendahuluan menguraikan kerangka dasar bagi penelitian ini yang berisikan  mengenai : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, telaah Pustaka, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Bab II di maksudkan penulis sebagai pengantar  untuk bias memahami sejarah perkembangan secara komprehensip dari masa walisongo sampai abad ke 20. bab II berisikan : Dinamika Pesantren di Indonesia meliputi pengertian pesantren, serta sejarah pertumbuhan dan perkembangan yang di mulai pada masa Walisongo (abad ke 15-16 hingga abad ke-20)
Bab III  Penulis arahkan untuk mencermati biografi dan profil Pondok Pesantren Al-Muayyad, salah satu profil pondok pesantren tradisional yang menunjukkan eksistensinya secara dinamis. Dalam bab ini  di paparkan gambaran umum geografis wilayah Surakarta, sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Muayyad dan perkembangannya, Visi, misi dan tujuan serta landasan pendidikan serta sistem pendidikan di Pondok Pesantren Al -Muayyad dan jelaskan pula dinamika kehidupan di pondok pesantren tersebut.
Bab IV Analisis ; membahas nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren tradisional sebagai salah satu pola pendidikan yang dapat dijadikan alternatif  pengembangan pola pendidikan Islam.
Bab V Merupakan penutup dari pembahasan penelitian ini yang berisi kesimpulan dan saran/rekomendasi.

BAB II
DINAMIKA PESANTREN DI INDONESIA
A.     Pengertian Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam(tafaqquh fiddin) dengan menekankan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari­ hari.
Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata “santri” , yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Kata “santri” juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik.[25] Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah “santri” berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[26] Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Dengan demikian,pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru­ murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.
Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah (Departemen Agama), pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut:
Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama  besar sejak abad pertengahan,(Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam  pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut.
Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari jum’at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya).
Ketiga, pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidiÿÿn modernrtemenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.[27]
Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karen memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri. [28] Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pcsantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren , khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya(insan kamil). Adapun yang dimaksud dengan pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi ideal meliputi aspek individual dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual. Sementara, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian (menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyyah dan islamiyyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri.[29]
Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Selain itu, pendidikan dan pengajaran agaman Islam tersebut diberikan dengan metode khas yang hanya dimiliki oleh pesantren, yaitu;
Rundongan atau Wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu.
Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut.
Beberapa pesantren dalam perkembangannya, disamping mempertahankan sistem tradisionalnya juga menggunakan sistem madrasi, baik sebagai basis pendidikannya ataupun yang bersifat tambahan.
B.    Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren
Agak sulit untuk mengidentifikasi dan menerangkan kapan dan bagaimana sesungguhnya pesantren itu lahir (baca ada). Studi yang dilakukan oleh para sarjana kadang-kadang belum menemukan titik temu yang dapat dipakai sebagai sumber informasi yang benar-benar dipercaya mengenai perjalanan kehidupan pesantren. Seperti dikemukakan oleh Geertz sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa:
“Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru pada abad ke-14, herpapasan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistern politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial keagamaan ayang sangat maju, yang dukembangkan oleh kerajaan Hindu-Budha di Jawa yang telah sanggup menanamkan akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia”[30]
Apa yang dikemukakan Geertz tersebut hanya tentang Islam di kraton­-kraton (pusat kekuasaan) di Jawa, sedangkan yang menyangkut Islam dilingkungan pesantren tidak disinggung sama sekali. Sebenarnya Islam di  pesantren merupakan upaya kelanjutan dari masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dilakukan oleh pedagang Arab sejak abad ke-13. Geertz tidak menyebut tentang Islam di lingkungan pesantren, padahal Islam di lingkungan orang pesantren merupakan akar yang amat kuat yang dibentuk melalui pendekatan yang sangat manusiawi yang disebarkan lewat pengajaran oleh guru dan murid berdasarkan atas kehidupan kekeluargaan.
Sesungguhnya proses terbentuknya pesantren dapat dipastikan sebagai upaya untuk melembagakan kegiatan agama, agar memiliki posisi dan peran yang berarti dalam menangani dan menanggulangi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh para pemula penyebar agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan non formal dengan tatap muka yang kurang terjadwal berubah secara berangsur-angsur menjadi kegiatan yang terorganisasi, terlembaga dalam wujud yayasan-yayasan pendidikan pesantren, dari pesantren dengan sistem pendidikannya yang masih sangat sederhana hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School).
  1. Walisongo dan pengaruhnya
Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo pada abad ke-15 – 16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad.[31] Maulana Malik Ibrahim (Tahun 1419 di Gresik) – spiritual father Walisongo-dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di Tanah Jawa.[32]
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa abad ke-15 – 16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Girl, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. “Wali” dalam bahasa Inggnis pada umumnya diartikan “.saint”, sementara “songo” adalah istilah bahasa jawa yang berarti sembilan. Para santri jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di jawa demikian memikat.
Pada abad ke-15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah mereka hingga mereka memiliki jaringan di kota­ kota bisnis di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kota-kota inilah komunitasa muslim pada mulanya terbentuk. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo mendirikan masjid pertama di Tanah Jawa, yaitu masjid Demak. Masjid ini kemudian menjadi pusat terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa termasuk daerah­-daerah pcdalaman.
Bagi  komunitas  muslim, Masjid Demak tentu bukan saja sebagai pusat ibadah   (ritual keagamaan), tetapi juga sebagai wahana pendidikan mengingat  lembaga  pendidikan Islam -lebih dikenal dengan pesantren-pada masa awal ini belum menemukan bentuknya yang final, bahkan masih sangat sederhana. Masjid dan pesantren sesungguhnya merupakan center of execellece yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Sesungguhnya pula dakwah dan pendidikan tidak bisa dipisahkan dalam sejarah dan ajaran dasar Islam.
Pendidikan Islam atau juga transmisi Islam yang dipelopori Walisongo merupakan perjuangan brilliant yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam karena pendekatan­-pendekatan Walisongo yang konkrit realistik, tidak “jlimet” dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Approach dan wisdom Walisongo agaknya terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep modeling, keagungan Muhammad SAW, serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Barangkali karena modeling ini pula gagasan pesantren sederhana yang diperkenalkan Maulana Malik Ibrahim mampu eksis dan berekembanng dari abad ke abad sampai kini. Untuk  mengantisipasi dan mengakomodasi persoalan-persoalan sosial keagamaan serta merekrut murid-murid baru, Maulana Malik lbrahim tidak merasa kesulitan dalam mendirikan prototipe pesantren dalam bentuk embrio. Pendirian pesantren ini dibarengi dengan keberhasilan tokoh ini dalam menarik simpati massa, dan melengkapi diri dengan modal materi pribadi yang digunakan untuk dakwah lslamiyyah sebagai “a traveling Muslim merchant” dan guru panutan. Pada siang hari, sang guru membawa anak didik ke sawah dan malam hari mengajarkan mereka ilmu-ilmu dasar seperti membaca A1-Qur’an. Karena rekayasa ini, tokoh ini sering disebut sebagai “the father of early pesantren” di Jawa. Langkah beliau ini kemudian diikuti oleh para wali setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel dengan mendirikan pesantren di daerah Kembang Kuning (Surabaya)[33] sebagai pusat kegiatan dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama[34]. Pesantren ini yang terdokumentasi  dalam Babad Tanah Djawi sebagai awal mula adanya sebuah lembaga yang disebut “pesantren”.[35].
Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah “sayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian, hingga mereka bisa menjalankan syari’at Islam dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan”.
Sedangkan pola hubungan antara santri dan kyai lebih diwarnai oleh ajaran dari kitab ta’lim al-Muta’allim karya Zarnuji, yang dianggap sebagai pedoman etika mencari ilmu yang melibatkan peran kyai.
2.       Masa Kerajaan Mataram
Pada abad berikutnya setelah masa Walisongo, sekitar abad ke-17, lemhaca pcndidikan pesantren semakin mendapatkan posisi di masyarakat, karena penguasa kerajaan saat itu memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama Islam dengan memelopori usaha-usaha untuk memajukan dunia pendidikan dan pengajaran Islam.
Pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613 sampai dengan 1645, Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa setelah pemerintahan Majapahit dan Demak, yang juga dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Ing Tanah Jawi, yang berarti pemimpin dan penegak agama di tanah jawa. Sultan Agung adalah pemimpin negara yang salih dan menjadi salah satu rujukan utama bagi dunia santri. Sultan Agung menjalin hubungan intim dengan kelompok ulama. Bersama mereka, Sultan Agung melaksanakan shalat jum’at dan diikuti dengan tradisi musyawarah dan mendengar fatwa-fatwa keagamaan mereka. [36]
Sebagai wujud besarnya perhatian Sultan Agung terhadap pendidikan Islam, beliau menawarkan tanah pendidikan bagi kaum santri serta menciptakan iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300-an pesantren.
Tanah perdikan, tanah dengan beberapa privileges adalah sebuah lokasi untuk kepentingan kehidupan beragama yang dibebaskan dari pajak Negara. Perkembangan berikutnya menunjukkkan bahwa tanah perdikan meluas menjadi sebuah kampong khusus yang memiliki fungsi keagamaan seperti menjaga tempat-tempat suci, merawat  dan mengembangkan pesantren serta menghidupkan Masjid.[37]
Pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada masa kerajaan Mataram, khususnya masa Sultan Agung, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Tingkat pengajian Al-Qur’an, yang terdapat dalam setiap desa. Yang diajarkan meliputi huruf Hijaiyah, membaca  Al-Qur’an, barjanji, Rukun Iman, Rukun Islam. Gurunya Modin.
  1. Tingkat pengajian  Kitab. para santri yang belajar pada tingkat ini adalah mereka yang telah khatam A1-Qur’an. Gurunya biasanya modin terpandai di desa itu, atau didatangkan dari luar dengan syarat-syarat tertentu. Guru-guru tersebut diberi gelar Abah Anom. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka umumnya mondok. Kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab dasar, seperti Matan Taqrib, Bidayatul Hidayah. Sistem yang digunakan adalah Sorogan
  2. Tingkat Pesantren Besar. Tingkat ini lengkap dengan pondok dan tergolong tingkat tinggi. Gurunya diberi gelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai dan umumnya para priyayi “ulama kerajaan” yang tingkat kedudukannya sama dengan penghulu. Adapun pelajaran yang diberikan pada pondok pesantren tingkat ini pada umumnya berbentuk syarah dan hasyiyah dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, llmu Kalam, Tasawuf , Nahwu, Sharaf dan lain-lain.
d.       Pondok Pesantren tingkat Keahlian (takhassus). Pelajaran pada pondok pesantren tingkat takhassus ini adalah bersifat memperdalam sesuatu fan atau disiplin ilmu pengetahuan agama seperti hadits, Tafsir, Tarekat dan sebagainya.[38]
Sejalan dengan proses dinamis ini pendidikan Islam di Jawa masa kerajaan Mataram, khususnya pada masa Sultan Agung, dipandang oleh Mahmud Yunus, sebagai masa keemasan sistem pendidikan Islam abad ke-19.”
3.       Masa Penjajahan
Kemajuan pendidikan dan pengajaran Islam yang pesat pada masa kerajaan  Mataram  rupanya membuat pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir. Sebab, dengan majunya pesantren, pada suatu saat akan mengancam kedudukan Belanda. Oleh karena itu, di kalangan pemerintah Belanda, muncul ada dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, yaitu mendirikan lembaga  pendidikan yang berdasarkan lembaga pendidikan tradisional, pesantren atau mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di Barat waktu itu.
Pendidikan yang diselenggarakan secara tradisional di pesantren menurut pemerintah Belanda terlalu jelek dan tidak mungkin dikembangkan menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka memilih alternatif kedua yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang telah ada.[39]
Pendidikan Kolonial Belanda ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda ini khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pengetahuan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama.[40]
Tetapi ternyata dengan diselenggarakannya pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda ini justru tidak lebih memberikan keleluasaan pendidikan pesantren yang dikelola orang-orang pribumi (umat Islam). Pemerintah kolonial berusaha menghalang-menghalanginya, terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan yang dirasakan cukup menekan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian bangsa Indonesia, terutama bagi golongan priyayi dan pejabat, oleh pemerintah kolonial tersebut maka sejak itu terjadilah persaingan antara lembaga pendidikan tersebut dengan lembaga pendidikan pesantren
Meskipun harus bersaing dengan sekolah- sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial, lembaga pendidikan pesantren tetap eksis dan bahkan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jika pada awal abad ke-19, waktu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah, jumlah pesantren di Jawa hanya sebanyak 1.853 buah, dengan jumlah santri 16.556 orang. Tetapi pada akhir abad ke-19 jumlah pesantren mencapai 14.929 buah dan jumlah santri sebanyak 222.663 orang. [41]
Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya segi-segi ideologis dan cita­cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis, bahkan perlawanan fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan ) melawan pemerintah koonial Belanda pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan dari pesantren. Perang-perang besar, seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni­-alumninya memegang peranan utama.[42]
Menyaksikan kenyataan yang demikian menyebabkan pemerintah kolonial di akhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mulai mengadakan pengawasan dan campur tangan terhadap pendidikan pesantren dengan mengeluarkan ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang mengajarkan agama, seperti pesantren dan guru-guru agama yang akan mengajar juga harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial di wilayah setempat.
Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat yang mulai menjangkau sebagian bangsa Indonesia, pesantren pun mulai mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk dalam bidang pendidikan mulai masuk ke Indonesia dan mulai merasuk ke dunia pesantren, serta dunia pendidikan Islam pada umumnya. Ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam itu timbul sebagai akibat kemunduran umat Islam dan merajalelanya penjajahan Barat. Umat Islam menyadari akan kelemahan dan ketertinggalannya dari Barat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun budaya. Olah karena itu usaha pembaharuan pada umumnya ditekankan pada pembaharuan dalam dunia pendidikan.
Pada garis besarnya ide pembaharuan dlam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam, bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.       Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada sistem pendidikan yang berlaku di Barat, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dunia Barat dipandang sebagai sumber kekuatan. Oleh karena itu kelompok ini mengembangkan sistem dan isi pendidikan Barat.
b.       Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni. Mereka berpandangan bahwa sesungguhnya ajaran Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dn perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah pada zaman keemasan Islam di masa lalu. Usaha pembaharuan pendidikan bagi mereka harus kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni Al-Qur’an dan A1­-Sunnah, yang tidak pernah membedakan antara agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh terpisah dari Islam. Pendidikan harus juga mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagimana yang dikembangkan oleh Barat.
c.       Gerakan pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang sejarah bangsa masing-masing. Dengan memperbaiki dan mengembangkan apa yang ada, dengan menghilangkan kelemahan – kelemahannya, serta memasukkan unsur-unsur baru (ilmu pengetahuan dan teknologi)         diharapkan akan membawa kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.
Ketiga pandangan tersebut, nampaknya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan pesantren dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang abad ke-20. Sistem penyelenggaraan sekolah-sekolah modern klasikal mulai masuk ke dunia pesantren.
Sementara itu, di beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, tetapi pelajarannya dititik beratkan pada pelajaran agama saja. Kemudian pada pcrkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang semata-mata bersifat diniyah berubah menjadi madarasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
4.      Masa kemerdekaan dan Pembangunan
Pesantren, dalam perjalanan sejarahnya sejak masa kebangkitan nasional hingga masa perjuangan kemerdekaan, senantiasa tampil dan berpartisipasi aktif. Oleh karena itu, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantoro yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.[43]
Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada masa kemerdekaan dan pembangunan, pesantren mampu menampilkan dirinya berperan aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan sistem pendidikannya, dengan manajemen tradisional. Tetapi beberapa pesantren dapat segera mengidentifikasi persoalan ini dan melakukan berbagai inovasi untuk pengembangan pesantren. Disamping pengetahuan agama Islam, diajarkan pula pengetahuan umum dan ketrampilan (vocational) sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan kepada santri agar selepas mereka dari pesantren dapat hidup mandiri dan mapan ditengah-tengah masyarakat. Beberapa pesantern juga telah menggunakan sistem klasikal dengan saran dan prasarana pengajaran sebagaimana yang ada di sekolah-sekolah umum. Bahkan ada juga pesantren yang lebih cenderung mengelola dan membina lembaga pendidikan. formal, baik madrasah atau sekolah umum mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Transformasi kelembagaan pondok pesantren ini meng-indikasikan terjadinya keberlangsungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren. Dalam konteks ini, pesantren disamping mampu terus menjaga eksistensinya juga sekaligus bisa mengimbangi dan menjawab perubahan dan tuntutan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinkannya bisa tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Penting ditegaskan di sini bahwa transformasi tersebut pada kenyataannya tiak menggeser ciri khas dan sekaligus kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam.
Demikianlah pesantren yang telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa warsa terakhir, sejak tahun 1970-an. Data Departemen Agama, misalnya, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang. Jumlah tersebut rnenngalami peningkatan bcrarti pada 1981, dimana pesantren berjumlah sekitar 5.661 buah dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada 1985 jumlah pesantren mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang dan pada 1997/1998 Departemen Agama telah mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 orang.[44]
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia tampaknya cukup mewarnai perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, tentunya juga tidak dapat menghindar dari kritik terhadap kekurangannya.
Diantara kelebihan pesantren terletak pada kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren, dilandasi oleh tata nilai yang menekankan pada fungsi mengutamakan beribadat sebagai pengabdian kepada Sang Khalik dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki, yang dikejar adalah totalitas kehidupan yang diridhoi Allah. Sikap hidup yang demikian terlepas dari acuan-acuan struktural yang ada dalam susunan kehidupan masyarakat di luar pesantren. Hal  ini dapat membuat santri mampu bersikap hidup tidak menguntungkan diri pada lembaga mesyarakat yang manapun.
Sementara kekurangan-kekurangannya antara lain adalah tidak adanya perencanaan yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri, tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih rnudah dicerna dan dikuasai oleh santri (anak didik), tidak adanya pembedaan yang jelas antara hal-hal yang benar-benar diperlukan dan yang tidak diperlukan dalam suatu tingkat pendidikan. Pedoman yang digunakan tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, akibatnya adalah tidak adanya landasan filsafat pendidikan yang jelas dan terperinci. [45]
Bagaimanapun keadaan pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita mengakui besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Jawa, dan tidak berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian historis bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengakar kuat dari masa pra-Islam.
BAB III
PROFIL PONDOK PESANTREN AI-MUAYYAD SURAKARTA
A.      Letak Geografis
Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta terletak di kampung Mangkuyudan dan tepatnya di Jalan KH. Samanhudi No. 64 Mangkuyudan Surakarta. Pemilihan lokasi ini dinilai sangat strategis bagi para santri yang mondok di Al-Muayyad, baik santri yang berpendidikan formal maupun non formal.
Adapun batas-batas lokasi Pondok Pesantren A1-­Muayyad Surakarta adalah sebagai berikut :
1.      Sebelah barat berbatasan dengan kampung Tedipan.
2.      Sebelah timur berbatasan dengan karnpung Tegalsari
3.      Sebelah utara berbatasan dengan Kalurahan Purwosari.
4.      Sebelah selatan berbatasan dengan Kalurahan Bumi.
B.      Sejarah Berdiri Dan Perkembangannya
Nama Al- Muayyad secara harfi’ah berasal dari kata “Ayyada” yang berarti menguatkan, sehingga yang dimaksud Al-Muayyad berarti sesuatu yang dikuatkan. Harapan yang tersirat dari nama tersebut adalah Pondok Pesantren yang dikuatkan atau didukung oleh kaum muslimin. Nama Al- Muayyad diberikan oleh ulama karismatik yang bernama KH. Al- Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalgondo, Wonosari Klaten. Semula nama ini untuk sebuah Masjid di komplek pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama sebuah lembaga dan badan di lingkungan Pondok Pesantren Al-Muayyad.[46]
Kepemimpinan pondok pesantren Al-Muayyad ini terbagi dalam tiga generasi, yaitu Masa KH. Abdul Mannan, KH. Ahmad Umar Abdul Manan dan pada ketiga di pegang oleh KH. Abdul Rozaq Shofawi.
1.       Generasi Pertama (KH. Abdul Mannan)
Al Muayyad dirintis tahun 1930 oleh Simbah KH. Abdul Mannan di atas tanah seluas 3.500 m2 yang diwakafkan sahabat karibnya yaitu Ahmad Shofawi di Kampung Mangkuyudan Kalurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, Kotamadya Surakarta. Semula merupakan pondok pesantren dengan corak Tasawuf dalam arti pesantren dengan kegiatan utama latihan pengamalan syari’at Islam dan belum melakukan pendalaman ilmu-ilmu agama secara teratur. Titik beratnya melatih para santri dengan perilaku keagamaan. Pengajian yang diselenggarakan berkisar pada akhlak.
Nama kecil Simbah KH. Abdul Mannan adalah Tarlim, sebagaimana diberikan oleh ayahandanya. Kyai Chasan Adi, yang seorang Demang di Glesungrejo Baturetno Wonogiri. Setelah diterima nyantri di Kadirejo diganti oleh Kyai Ahmad menjadi Bukhori. Dan usai menunaikan ibadah kaji tahun 1926, menjadi Abdul Mannan.
Selama nyantri di situ, Tarlim yang menjadi Bukhori selalu mengisi bak mandi Kyai yang dibangunnya sendiri. Tiap dini hari sebelum subuh, bak mandi diisi penuh, perlahan-lahan, tanpa suara, tanpa sepengetahuan orang lain. Bak yang sudah penuh tetap diisi sampai air menyebar. Tufu’ul atau harapan beliau adalah agar kelak ilmu anak keturunannya mampu menyebar sebagaimana air yang tumpah dari bak, memberikan manfaat yang menyejukkan kepada sesama.
Di pondok itulah tumbuh persahabatan antara beliau dengan K.H. Ahmad Shofawi, santri putra hartawan yang shalih. Keduanya memiliki cita-cita tinggi. dan keduanya juga dikenal wira’i (cermat dan hati-hati menjalankan syari’at), suka riyadzah(prihatin demi cita-cita luhur), serta taat kepuda para guru dan Kyai. Remaja Buchori bercita-cita menjadi hafidh Al Qur’an dan menyebarluaskan ilmu agama Islam ke masyarakat. Idaman menjadi hafidhul Qur’an tidak bisa terwujud. Hal itu disyaratkan oleh Kyai Ahmad saat menenangkan Bukhori yang menangis mengikuti semaan Al – Qur’an yang menampilkan remaja hafidzul Qur’an berusia 11 tahun. Isyarat Kiai Ahmad, kelak anak keturunannyalah yang mampu mewujudkan cita-cita itu. Dan benar tiga putra dan tiga putri beliau berhasil menjadi hafidz dan hafidzah, 5 diantaranya ketika beliau masih hidup.
Sementara KH. Ahmad Shofawi memiliki 3 cita-cita : berkediaman di dekat (mangku) Masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal “berbendera Islam”, dan memiliki anak-anak yang mangku (mengasuh) pondok pesantren. Ketiga cita-cita itu tercapai. Bahkan beliau mampu mendirikan/membangun Masjid Tegalsari di Kampung Tegalsari Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Surakarta, tahun 1928, dengan arsitektur dan bahan lain yang amat tinggi nilainya. Arsitek Masjid itu adalah  K.H.R. Prof. Mohammad Adnan yang juga pendiri PTAIN kini UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
KH. Ahmad Shofawi menunaikan ibadah haji dengan kapal yang dicarter oleh Pakistan, dan karenanya “berbendera Islam”. Kaitannya dengan cita-cita kedua, akhirnya putra beliau, KH. Abdul Rozaq Shofawi menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Al- Muayyad menggantikan pamandanya KH. Ahmad Umar Abdul Mannan yang wafat tahun 1980 dibantu oleh kedua adik beliau, KH.Abdul Mu’id Ahmad dan H. Muhammad Idris Shofawi. Sementara putri bungsu beliau, Nyai Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi suaminya mengasuh Pandok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabu Kedungjati Grobogan.
Dalam generasi pertama ini ilmu-ilmu agama yang dikaji masih tingkat daar dan belum teratur, karena para santrinya masih terbatas pada kerabat dekat dan para karyawan Perusahaan batik “Kurma” milik KH. Ahmad Shofawi sendiri, dan Kyai Damanhuri (seorang pengelana dari Cilacap). Kyai Damanhuri inilah yang memberikan isyarat, saat KH. Ahmad Umar Abdul Mannan masih nyantri di pondok-pondok pesantren, bahwa kelak Mangkuyudan akan menjadi pesantren besar.
2.       Generasi Kedua (KH. Ahmad Umar Abdul Mannan)
Hanya 7 tahun Simbah KH. Abdui Mannan memimpim, Pesantren, sebab tahun 1937 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya, KH. Ahmad Umar Abdul Mman, waktu itu berusia 21 tahun, sekembali beliau dari belajar di pesantren­-pesantren : Krapyak (Yogya), Termas (Pacitan), dan Mojosari (Nganjuk). Mulailah Al-Muayyad sebagai sebuah pondok pesantren dengan kurikulum yang menitik beratkan pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam.
Pengajian Al- Qur’an dan kitab kuning makin teratur, sehingga dipandang perlu mendirikan Madrasah Diniyah pada tahun 1939. sekalipun beberapa madrasah/sekolah kemudian menyusul didirikan. Al-Muayyad dikenal sebagai Pesantren  Al – Qur’an. Hal ini dimungkinkan karena pengajian Al-Qur’an menjadi inti pengajaran hingga kini dan K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan sendiri dikenal sebagai ahli di bidang Al-Qur’an dengan sanad  (silsilah ilmu) dari KH. R. Mohammad Moenawwir, pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Nama Al-Muayyad diberikan oleh seorang ulama besar Guru/Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah yang bernama KH. M. Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo, Wonosari, Klaten. Semula nama ini untuk Masjid di kompleks pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama semua lembaga dan badan di lingkungan Pondok Pesantren. Al-Muayyad dari kata ayyada berarti sesuatu yang dikuatkan. Tafa’ul atau harapan yang tersirat di dalamnya adalah Pondok Pesantren yang dikuatkan/didukung oleh kaum muslimin.
Sejalan dengan meluasnya program pendidikan, para Kyai yang mendukungpun bertambah : Tercatat antara lain : KH. Abdullah Thohari, Kyai Ahmad Muqri, Kyai Idris, Kyai Danuri, Kyai Sono Sunarto, KH. RNg. M. Asfari Prodjopudjihardjo (Mbah Bei), KH. M. Shobari, KH. Moh. Yasin, KH. R. Moh. Jundi, KH. M. Suyuthi, KH. Abdul Ghoni Ahmad Sadjadi, KH. Mochtar Rosyidi, Kiai M. kofi’i, dan KH. Ahmad Musthofa yang kemudian mendirikan pondok pesartren Al-Qur’ani di sebelah utara Al­ Muayyad.
Sebagai pesantren yang dirintis dan tumbuh di masa perjuangan kemerdekaan, riwayat panjang menyertai Al-Muayyad. Di waktu itu banyak santri dan Kyai yang malam hari ikut bergerilya, sementara siang hari sibuk mengaji dan belajar. sebagian besar juga turut khidmat/kerja bakti sukarela sebagai tukang dalam membangun masjid, asrama santri dan fasilitas pesantren lainnya.
Masjid di tengah kompleks Al-Muayyad, dibangun bulan Maret 1942, berbarengan dengan kedatangan balatentara Jepang di tanah air. Batu penyangga keempat tiang utama (saka guru) Masjid ini berasal dari saka guru bekas kediaman Pangeran Mangkuyudan. Tahun 1947 dibangun asrama putra, 12 kamar. Begitu selesai, meletus Agresi Belanda l. Para santri dan Kyai Pejuang mendapatkan informasi bahwa Tentara Pendudukan akan menjadikan asrama santri itu sebagai barak.
Kyai-kyai sepuh menasihatkan agar para santri tabah dan bersedia berkorban. Bangunan permanen yang masih baru itu terpaksa dirusak agar tak layak huni. Dengan berat hati para santri memecah genting, mendongkel pintu dan jendela, mengikat dan mencoret-coret tembok dengan arang, memiringkan tiang-tiang, dan bahkan menanami halamannya dengan ramput, singkong, dan sayuran secara tidak teratur untuk menampakkan kesan bahwa pondok ini tak layak huni sebagai barak tentara. Dan benar, asrama itu tidak jadi dipergunakan sebagai barak. Dalam situasi yang menegangkan itupun, kegiatan mengaji tetap berlangsung meski secara sembunyi-sembunyi dengan penerangan lampu kecil minyak tanah (ublik).
Justru karena letaknya yang di tengah kota dan sarat dengan nuansa keagamaan, Al-Muayyad tidak tampak sebagai tempat berhimpun para pejuang, baik yang tergabung dalam kesantuan hizbullah, sabilillah maupun barisan kyai.
Setelah situasi tenang dengan kemenangan di pihak Tentara Nasional Indonesia, tahun 1952, asrama itu dibangun kembali. Masjid diperluas hingga hampir dua kali lipat. Para santri berdatangan dari berbagai daerah yang lebih jauh. Namun situasi tenang ini tidak berlangsung lama, sebab agitasi PKI tahun 1960-an membangkitkan suasana perjuangan di kalangan, santri dan Kyai Al-Muayyad. Pondok menjadi ajang pelatihan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) dan Fatser (Fatayat Serbaguna).
Tragedi Nasional G 30 S/PKI  tahun 1965, sempat melumpuhkan kegiatan mengaji para santri. Sebagian aktif bersama-sama ABRI menumpas G 30 S/PKI, dan sebagian lagi diminta pulang untuk menjaga keamanan. Alhamdulillah tragedi berakhir dan suasana tenang kembali tercipta.
Refleksi atas sejarah itu melatarbelakangi para santri dan pengasuh Al-Muayyad untuk menyebut almamaternya sebagai Kampus Kader Bangsa Indonesia (KKBI).
Ciri khas KH. Ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kepemimpinan adalah kuatnya kaderisasi para kerabat, ustadz dan santri dengan membagi tugas dan tanggung jawab kepesantrenan kepada mereka. Beliaulah yang memprakarsai pembentukan Lembaga Pendidikan Al-Muayyad (yang kemudian menjadi Yayasan), penyelenggaraan Pelatihan Teknis Tenaga Kependidikan bagi sekolah  Madrasah Ahlussunnah Wal Jama’ah (PEPTA). Di masa beliau pula Al-Muayyad menjadi anggota Rabithah al- Ma’ahad al- Islamiyyah  (RMI) Ikatan Pondok Pesantren.
3.      Generasi Ketiga (KH. Abdul Rozaq Shofawi)
Setelah KH. Ahmad Umar Abdul Mannan wafat tahun 1980, dalam usia 63 tahun, kepemimpinan Al-Muayyad diserahkan kepada KH. Abdul Rozaq Shofawi. Beliau nyantri di Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH. Ali Maksum, sambil kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga dan juga pada KH. Hasan Asy’ari Mangli Magelang. Selesai nyantri pada Mbah Mangli, tepat 3 tahun, KH. Ahmad Umar Abaul Mannan wafat.
Ibunda KH. Abdul Rozaq Shofawi adalah Nyai Siti Musyarrofah binti KH. Abdul Mannan, seorang hafidzah pada usia 16 tahun, yang diperistri KH. Ahmad Shofawi setelah istri pertama wafat. Dari pernikahan itu lahir KH. Abdul Rozaq Shofawi, Nyai Hj. Siti Mariyah Ma’mun, dan Siti Mun’imah yang wafat dalam usia 35 hari, 30 hari setelah ibunda wafat.
Setelah Nyai Siti Musyarrofah wafat KH. Ahmad shofawi memperisteri Nyai Hj. Shofiyah binti KH. Ahdul Mu’id dan menurunkan KH. Abdul Mu’id Ahmad, H. Muhammad Idris Shofawi, serta Nyai Hj. Siti Maimunah Baidhlowi.
Atas nasehat KH. Muhammad Ma’shum Lasem Rernbang, sepeninggal KH. Ahmad Shofawi, Nyai Hj. Shofiyah diperisteri oleh KH. Ahmad Umar Abdul Manan. Pernikahan ini tidak dikaruniai seorang putra pun.
Termasuk kejadian penting yang selalu diingat dalam generasi ketiga ini adalah terbakarnya kompleks pondok tanggal 31 Agustus 1982, 15 hari sebelum keberangkatan Pengasuh dan 7 sesepuh Al-Muayyad ke tanah suci menunaikan ibadah haji, yang menghabiskan 13 kamar santri, dapur santri, kediaman pengasuh dan perpustakaan KH. Ahmad Umar Abdul Mannan yang menghimpun ribuan kitab dan bahan pustaka yang tak ternilai harganya. Musibah besar ini  mengundang simpati besar masyarakat yang bergotong royong memberikan penampungan, keperluan makan minum, dan keperluan sekolah bagi 275 santri putra yang kehilangan tempat tinggal dan perlengkapannya. Masyarakat juga bahu membahu dengan pengurus merehabilitasi asrama dan kediaman pengasuh, sehingga dalam waktu 40 hari bangunan-bangunan itu telah pulih kembali.
Dalam generasi ketiga inilah, Al-Muayyad melestarikan sistem kepesantrenan yang diidamkan dan dikembangkan oleh dua generasi pendahulunya. Yayasan yang menjadi tulang punggung manajemen pesantren diaktifkan, sehingga pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab nara pengelola bisa dibakukan. Dengan pola semacam itu, Al-Muayyad berkeinginan mampu mewadahi dukungan masyarakat luas bagi penyiapan generasi muda dalam wadah pesantren dengan manajemen terbuka, karena pesantren sesungguhnya milik masyarakat.[47]
Secara singkat tahap-tahap perkembangan pondok pesantren bisa dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1930-1938            :  Pengajian Tashawwuf
1937-1939            :  Pengajian Al-Qur’an
1939                     :  Berdiri Madrasah Diniyah
1970                    :  Berdiri MTs dan SMP
1974                    :  Berdiri Madrasah Aliyah
1992                    :  Berdiri Sekolah Menengah Atas
1995                    :  Berdiri Madrasah Diniyyah Ulya
Dengan semakin memusatnya sistem pendidikan nasional pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan untuk mengembangkan rintisan serta ikhtiar mewujudkan idaman K.H.Ahmad Umar Abdul Mannan dibidang kurikulum, maka diselenggarakan Lokakarya Kurikulum Al-Muayyad pada bulan September 1991 yang menjadi Madrasah Diniyyah Al-Muayyad sebagai tulang punggung  tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu-ilmu agama).
Madrasah Diniyyah itu bersama-sama pengajian Al-Qur’an, sekolah dan madrasah berkurikulum nasional, serta kegiatan kepesantrenan lainnya, menempatkan Al-Muayyad dalam keaktifan dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia. khususnya di bidang pendidikan, sejalan dengan panggilan untuk menyerasikan pola pesantren dengan sistem pendidikan nasional.
Untuk menjawab tantangan pembangunan nasional mendatang, Pondok Pesantren ini dituntut untuk terus mengembangkan diri lahan di komplek Mangkuyudan yang hanya seluas + 3.650 m2 sudah tidak memadai lagi untuk mewadahi perkembangan jumlah santri dan satuan pendidikan yang dirintis, sehingga dukungan besar dari semua pihak saagat diperlukan.[48]
C.      Fungsi Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta
Al-Muayyad secara umum berfungsi sebagai lembaga tafaquh fiddin (pendalaman ilmu-ilmu agama). Sesuai dengan kemampuan dan pertimbangan situasional dewasa ini, secara khusus mengarahkan diri untuk berfungsi sebagai berikut :
1.       Lembaga dakwah yang menyebarluaskan mlai-nilai Islam Ahlusunnah wal jama’ah di masyarakat.
2.       Lembaga pendidikan yang aktif menanamkan nilai-nilai keislaman, kemasyarakatan dan kebangsaan.
3.       Lembaga pengajaran yang mencerdaskan para santri dengan berbagai ilmu dan pengetahuan.
4.       Lembaga pelatihan yang membekali para santri dengan ketrampilan sebagai bekal hidup di kemudian hari.
5.       Lembaga pengembangan masyarakat yang mengentaskan/ mengemansipasikan santri dari kalangan kurang mampu untuk di bina. atas tanggung jawab dan keswadayaan mereka, menuju kehidupan yang lebih baik.
D.      Visi dan Misi Pondok Pesantren A1- Muayyad Surakarta
1.       Visi
Visi menurut bahasa artinya pandangan kedepan[49]. Sedangkan secara dari makna terminology  visi adalah :
“Vision is the end resuld of what you will have done. It is a picture how the land scap will look after you have been through it. It is your ideal”[50]
“ Visi adalah hasil akhir yang dari yang anda lakukan. Visi adalah gambaran dari seperti apa bentuk yang telah anda lewati. Visi adalah ideal anda”
Visi dari Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta adalah Terwujudnya masyarakat religius, bermartabat dan berdaya dan menguasai ilmu pengetahuan, ketrampilan yang diperlukan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan atau terjun di masyarakat.
  1. Misi
Pondok Pesantren Al- Muayyad Misi adalah tugas yang di rasakan sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme dan sebagainya.[51]
Menurut Tilaar Misi adalah :
“ Rumusan langka-langkah yang merupakan kunci untuk mulai melakukan inisiatif mewujudkan, mengavaluasi dan mempertajam bentuk-bentuk kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam visi (seseorang) masyarakat, bangsa atau perusahaan.[52]
Adapun Misi Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta adalah :
  1. Menyiapkan kader muslim yang berkualitas di bidang tafaqquh fiddin (kedalaman ilmu agama) adalah (kemantapan kepribadian) dan Kafa’ah (kecakapan operatif) bagi prakarsa pengembangan masyarakat.
  2. Menumbuhkembangkan kecakapan warga sekolah di bidang ilmu pengetahuan.
  3. Proaktif dalam pendidikan emansipatoris bagi pendewasaan masyarakat majemuk.
E.      Tujuan Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta
Secara umum, tujuan pendidikan pondok pesantren Al­-Muayyad adalah menanamkan dan meningkatkan ruhul Islam dalam perikehidupan berabama secara perorangan maupun bermasyarakat. Berdasarkan keikhlasan beribadah serta pengamalan syariat Islam secara murni dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Secara khusus, target yang hendak dicapai adalah menjadikan santri lulusannya :
1.       Memiliki ilmu dasar mengenai AI-Qur’an dan syariat Islam Ahlussunnah Waljamaah.
2.       Memiliki kemampuan dasar untuk merumuskan dan menyampaikan gagasan dakwah Islamiyah.
3.       Memiliki ketrampilan dasar pengalaman syariat Islam Ahlussunnah waljama’ah.
  1. Memiliki sikap mandiri dalam kehidupan sehari-hari.
    1. Memiliki kecakapan dasar untuk memimpin organisasi atas dasar inisiatif, partisipasi dan swadaya mereka sendiri.
    2. Memiliki bekal ilmu dan pengetahuan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.[53]
Adapun landasan  pendidikan di Pondok Pesantren Al Muayyad adalah :
1.       Keiklasan
Keiklsanan yang dimaksud adalah kebersihan hati dari segala perbuatan yang tidak baik, berpendirian bahwa yang dilakukan itu semata-mata karena dan untuk ibadah kepada Allah SWT dan bukan karena di dorong keinginan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu. Hal ini meliputi seluruh gerak kehidupan dipondok misalnya kyai mengajar dan santri belajar. Dengan demikian terciptalah suasana hidup harmonis antara kyai dan yang di segani dan santri yang taat, di samping itu juga  tercipta kehidupan saling tolong menolong dan kesatuan dikalangan santri.
2.       Kesederhanaan
Hidup hemat dan bersahaja benar-benar dilakukan dalam kehidupan di pondok. Kesederhanaan yang dimaksud disini adalah mengandung pengertian kekuatan dan ketabahan hati dalam menghadapi segala kesulitan, termasuk kesulitan mengendalikan hawa nafsu/ keinginan bermegah-megah.
  1. Menolong diri sendiri dan sesama umat.
Kehidupan di pondok menuntut santri untuk selalu untuk belajar dan berlatih menurus segala kepentingan sendiri. Dari sisi lain, pondok ini berdiri sebagai lembaga pendidikan yang tidak menyendarkan hidupnya pada bantuan dan belas kasihan orang lain. Namun justru menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama serta sikap untuk menolong sesama. Dengan rasa kasih sayang ini pesantren dan civitas ikut serta dalam upaya mengangkat derajat sesama manusia dari keterbelakangan dan kekurangan.
Jadi selain selain menolong diri sediri, juga tidak mengabaikan rasa sosial kemasyarakatan. Karena itu tidak dapat di pungkiri lagi Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta juga bagian dari masyarakat dan telah terjalin hubungan baik dan saling mengisi begitu juga santri-santrinya.
  1. Ukhuwah Diniyah
Kehidupan diliputi dengan suasana persaudaraan yang akrap, persatuan dan gotong royong, sehingga segala kesenangan di rasakan bersama dan kesulitan dapat diatasi bersama. Hal ini dapat terwujud karena keyakinan dan pandanga hidup mereka sama, bahwa manusia di ciptakan dan berada di bumi ini  tidak lain hanyalah untukl mengabdi kepada sang kholik, yaitu Allah SWT. Sebagai hamba yang beriman (mukmin) mereka akan merasa bersaudara dengan sesama dan berbuat baik terhadap mereka. Dalam Surat Al Hujurot ayat 10 Allah berfirman :
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r’sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada allah supaya kamu mendapat rohmat”[54]
  1. Kebebasan
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan segui kurikulum dan bebas secara plolitis. Kebebasan dari sisi kurikulum berarti bahwa pondok Pesantren Al-Muayyad tidak terikat oleh kurikulum Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan kebebasan secara politis PP Al-Muayyad merupakan lembaga independen, tidak berafiliasi bahkan terlibat pada salah satu pada partai politik maupun ormas tertentu.
Dalam konteks santri, kebebasan di sini berarti penanaman sikap demokratis. Mereka bebas berpikir, bebas dalam menentukan jalan hidupnya kelak di masyarakat, optimis dalam menghadapi hidup ini. Namun semua itu dilakukan dalam batas-batas syari’at Islam.[55]
F.      Struktur Organisasi
Pondok Pesantren yang di dalamnya terdapat banyak personil yaitu pengasuh, pengurus, serta para santri tentu semua itu memerlukan suatu wadah atau organisasi, agar jalannya pendidikan dan pengajaran dapat berjalan lancar dan baik.
Struktur organisasi adalah merupakan suatu susunan atau penempatan orang-orang dalam suatu kelompok, sehingga tersusunlah pola kegiatan yang tertuju pada tercapainya tujuan ke sana dari kelompok itu.
Di Pondok Pesantren Al-Muayyad dalam penempatan personil di pilih secara demokrasi, artinya santri diberi hak untuk dicalonkan untuk dijadikan pengurus dalam 2 tahun. Selanjutnya para santri diminta memilih calon-calon tersebut. Calon yang mendapat suara yang terbanyak itu akan menjadi pengurus suara terbanvak satu, dua, tiga akan menjadi ketua, sekretaris dan bendahara.
Untuk melengkapi seksi-seksi lain, ketiga pengurus tersebut bermusyawarah kemudian hasilnya dilaporkan pada pengasuh-­pengasuh akan memberikan dan pertimbangan jika disetujui, maka baru ditetapkan adanya pengurus tersebut.
Adapun struktur atau susunan pengurus Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta adalah sebagai berikut :
STRUKTUR ORGANISASI/SUSUNAN PENGURUS PONDOK PESANTREN AL-MUAYYAD MANGKUYUDAN SURAKARTA
Pengurus non structural
-  Pembantu umum
-  Wali kamar
Dari skema di atas masing-masing memiliki tugas sebagai berikut :
1.       Ketua, memiliki tugas :
a.       Bertanggung jawab kepada pengasuh Ma’had atas segala kegiatan Ma’had.
  1. Mengarahkan bawahan dalam melaksanakan tugasnya.
c.       Mengambil kebijaksanaan pada suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh pengurus yang berwenang.
d.       Bertanggung jawab atas segala kegiatan di luar Ma’had.
2.       Sekretaris, memiliki tugas :
a.       Melaporkan kepada ketua hasil kegiatan Ma’had yang telah dilaksanakan oleh masing-masing seksi.
  1. Meminta laporan kepada masing-masing seksi atas segala kegiatan yang telah dilaksanakan sedikitnya tiga bulan sekali.
  2. Bersama seksi tata usaha melaksanakan tugas kesekretariatan.
  3. Membukukan semua hasil kegiatan ma’had yang telah dilaksanakan pada tiap semester.
  4. Pendapatan rekapitulasi santri minimal sebulan sekali.
3.       Bendahara, memiliki tugas :
a.       Bertanggung jawab atas administrasi keuangan ma’had.
  1. Mengatur kebutuhan keuangan masing-masing seksi.
  2. Menghimpun dana sosial dari pengurus ma’had sebesar Rp. 10.000/bulan.
4.       Seksi Tata Usaha, memiliki tugas :
a        Mengatur administrasi ma’had yang ideal
  1. Mengadakan persiapan dan pembukuan surat keluar masuk dari dan untuk ma’had.
  2. Melaporkan segala kegiatan kesekretariatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali.
5.       Seksi Dirasah, memiliki tugas :
a.       Bertanggnug jawab atas terselenggaranya pendidikan qiroatul Qur’an di lingkungan ma’had.
  1. Mengadakan pengajian kitab kuning baik yaumiyah maupun tsamaniyah.
  2. Mengusanakan peningkatan kwalitas keilmuwan santri dengan mengembangkan usaha-usaha kedirasahan.
  3. Melaporkan segala hasil kegiatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali.
6.       Badan Pengawas pengajian Al-Qur’an, memiliki tugas .
a.       Mengawasi kedisiplinan dan keseriusan dewan ustadz dan santri dalam menjalankan kewajiban dalam proses belajar mengajar Al-Qur’an.
  1. Bekerjasama dengan pihak madaris untuk dapat mendisiplinkan masing-masing anak didiknya dalam bidang qiroatul Qur’an.
  2. Melaporkan segala kegiatan kepada kesekretariatan umum minimal tiga bulan sekali.
7.      Seksi keamanan, memiliki tugas :
a.       Bertanggung jawab atas keamanan pondok.
  1. Bertanggung jawab atas surat izin pulang, keluar, sakit.
  2. Melaporkan segala hasil kegiatan kepada kepala
8.       Seksi Kesehatan, memiliki tugas :
a.       Bertanggung jawab atas kesehatan santri beserta segala kebutuhan dalam bidang kesehatan.
  1. Mengembangkan usaha-usaha yang dapat menunjang kualitas santri.
  2. Melaporkan segala hasil kegiatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali.
9.       Seksi Kebersihan, memiliki tugas :
a.       Menciptakan suasana “berseri” di lingkungan ma’had.
  1. Memberikan dan koordinasi tugas piket kebersihan (halaman, kamar mandi, dan sebagainya) kepada seluruh santri.
3.       Melaporkan segala hasil kegiatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali
10.     Seksi Sarana, memiliki tugas :
a.       Menyediekan dan merawat sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
  1. Mengusahakan adanya penerangan dan pengairan yang mencukupi sesuai dengan kebutuhan.
  2. Melaporkan segala hasil kegiatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali.
11.     Seksi tamu, memiliki tugas :
  1. Mengatur penerimaan dan pengawasan tamu perseorangan yang hendak menemui santri.
  2. Menyediakan sarana akomodasi dan konsumsi yang mencukupi bagi tamu yang bermalam baik keluarga atau yang  lainnya.
  3. Bertanggung jawab atas pelaksanaan dliyfah bagi tamu rombongan.
  4. Melaporkan segala hasil kegiatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali.
12.     Seksi Perpustakaan, memiliki tugas :
  1. Melayani peminjaman buku-buku
  2. Bertanggung jawab atas keluar masuknya buku
  3. Melaporkan segala hasil kegiatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali.
13.     Pembantu Umum, memiliki tugas:
Membantu kesemua seksi demi terselenggaranya kegiatan yang dilakukan
14.     Wali Kamar memiliki tugas :
  1. Menampung aspirasi dan keluhan sertu menyelesaikan permasalahan anggota kamar.
  2. Mengadakan kegiatan yang bermanfaat bagi setiap anggota kamar.
  3. Membina dan mengarahkan anggota kamar dalam melakukan aktivitasnya.
  4. Melaporkan segala hasil kegiatan kepada sekretaris umum minimal tiga bulan sekali.[56]
G.      Keadaan Demografi
Keadaan demografis merupakan keadaan yang menggambarkan suatu penduduk. Dalam penilaian ini menggambarkan keadaan santri serta ustadz pondok pesantren Al-Muayyad yang meliputi jumlah santri serta ustadz yang dapat diketahui dari tabel di bawah ini :
1.       Santri Menurut Tingkat Pendidikan
Pondok Pesantren Al-Muayyad termasuk pondok Shalafi yang kholafi yang berarti merupakan pesantren yang memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam lingkungan pendok pesantren. Sebuah pondok pesantren tidak akan terlepas dari belajar dan mengaji. Mulai dari tingkat menengah sampai tingkat atas (SLTP – SLTA). Adapun mengenai jumlah dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
TABEL 0l
JUMLAH SANTRI MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN TAHUN PELAJARAN 2004/2005-2005/2006
TahunKelasSMPMASMAJumlah
2004-200511394472255
21396371273
314585181348
Jumlah Total876
2005-200611223268222
.2139
I
4472255
31396371273
Jumlah Total .750
(Sumber : Buku Induk Santri 2004/2005-2005/2006).
2.      Jumlah Ustadz dan Ustadzah
Pendidikan di pesantren tidak terlepas peran dari para ustadz/guru. Demikian halnya dengan Pondok Pesantren Al­-Muayyad Surakarta. Ustadz yang membimbing dan mengajar di Pondok Pesantren Al-Muayyad baik pendidikan formal maupun non formal. Sebagian besar lulusan dari sekolahan kuliah diluar. Sementara jumlah ustadz di Al-Muayyad dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
TABEL 02
JUMLAH USTADZ MENURUT ALMAMATER
ASAL TAHUN PELAJARAN 2004/2005 – 2005/2006
NoAlamater AsalUstadzUstadzah
1Pesantren109
2Perguruan Tinggi Negri56
3Institut Agama Islam Negeri1015
4Perguruan Tinggi Swasta54
.JumlahI30I34
(Sumber Data Ustadz PP. Al-Muayyad Suarakarta Tahun 2005/2006)
3.       Ustadz Pengurus Pondok
Ustadz-ustadz pengurus pondok pesantren Al-Muayyad yang umumnya mengajar mengaji, pengurus yang bertugas mengelola segala aktivitas-aktivitas pondok. Di samping itu juga menjadi wali kamar. Adapun susunan pengurus secara struktural adalah sebagaimana terlampir.
4.       Kondisi Lingkungan Pondok Pesantren Al-Muayyad
Kondisi lingkungan Pondok Pesantren Al-Muayyad di sini mencakup sarana fisik yang disediakan oleh pondok bagi santri Al­ Muayyad maupun bagi tamu yang berkepentingan dengan Pondok Pesantren Al-Muayyad. Adapun sarana fisik Pondok Pesantren Al­ Muayyad Surakarta dapat diketahui sebagai berikut :
TABEL 03
SARANA DAN FASILITAS PONDOK
PESANTREN AL-MUAYYAD SURAKARTA
NoNama ruang / KamarJumlah
1Ruang Belajar15 lokal
2Aula1 lokal
3Masjid1 lokal
4Kantor2 lokal
5Ruang tamu putrid1 lokal
6Ruang Tamu Putra1 lokal
7Kantin Warung1 lokal
8Koperasi1 lokal
9Kantor Pondok Putra1 lokal
10Kantor Pondok Putri1 lokal
11Kamar santri120 lokal
12Kamar Mandi dan WC36 lokal
13Kamar Mandi11 lokal
14Dapur5
15Gudang1
16Kolam Wudlu2
17Perpustakaan2
(Dokumentasi Ponpes Al-Muayyad diambil tanggal 31 Desember 2006).
5.       Aktivitas Santri Pondok Pesantren Al-Muayyad
Sebagai sebuah institusi pendidikan keagamaan, kehidupan sehari-hari di Pondok Pesantren Al-Muayyad ini hampir sama kondisinya dengan pesantren lain pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan barangkali hanya pada mata pelajaran yang diajarkan, maupun rutinitas pondok, seperti kewajiban puasa senin-kamis, aktiivitas shalat malam, ataupun tradisi-tradisi yang menjadi cirri khas pesantren, karena dalam hal ini antara pesantren satu dengan yang lainnya penekanannya tidak sama. Fenomena keseharian di Pondok Pesantren Al-Muayyad sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan pendidikan. Hal ini membutuhkan kedisiplinan yang tinggi, kesabaran dan tenaga ekstra dari para santri, mengingat waktu untuk istirahat dan santai sangat terbatas.
Berikut ini aktivitas santri Pondok Pesantren Al-Muayyad yang tertuang dalam jadwal harian dan mingguan.
Jadwal harian
04.00-04.30     : Bangun tidur dan jamaah shalat shubuh
04.30-06.00     : Mengaji Al-Qur’an
06.00-06.45     : Mandi, berpakaian seragam dan sarapan
06.45-07.00     : Persiapan ke sekolah atau madrasah
07.00-12.40     : Belajar di kelas
12.40-13.00     : Jama’ah shalat dhuhur
13.00-13.30     : Melanjutkan pelajaran pagi
13.30-14.30       :          Istirahat, makan siang dan persiapan
14.30-15.15       :          Belajar di madrasah diniyah
15.15-15.30       :          Jamaah shalat ashar
15.30-17.00:Lanjutan belajar di madrasah diniyah
17.00-17.30:Istirahat, mandi dan makan sore
17.30-18.15:Jamaah shalat maghrib
18.15-19.15:Mcngaji Al-Qur’an dan Kitab
19.15-19.30:Jamaah shalat isya’
19.30-20.30:Mengaji kitab
20.30-21.30:Belajar mandiri di kelas
21.30-04.00:Istirahat panjang atau tidur
Jadwal Mingguan
Jum’at05.00-05.30TAM (santri putri)
06.00-08.00Ol ah raga
08.00-11.00Kegiatan IPMA
13.00-13.30Tahlil (santri putra)
13.30-16.00Latihan seni baca Al-Qur’an
19.30-21.30Kunjungan dokter pondok
Senin18.15-19.15Mujahadah, wejangan  Kyai
Rabu19.30-21.30Kunjungan dokter pondok
Kamis18.15-19.15Membaca manaqib
19.30-21.00Membaca Al-Barjanji
Jadwal Bulanan
Latihan khitabah atau berpidato di tiap sekolah/madrasah yang diatur masing-masing pengurus IPMA[57].
6.       Pola Pesantren
  1. MDA dan MDW, masing-masing 3 (tiga) tahun, masuk sore.
  2. MTs, SMP, MA dan SMA, masing-masing 3 (tiga) tahun, masuk pagi
  3. Semua murid MTs, SMP, MA dan SMA wajib memperdalam ilmu agama di Madrasah Diniyah, sesuai dengan penempatan yang ditentukan.
  4. Semua murid mengikuti pengajian Al-Our’an.
1)             Juz Amma yaitu tingkatan menghafal juz ke 30
2)             Bin Nadzor yaitu tingkatan membaca dengan  fasih 30 juz.
3)             Bil ghoib atau tahfidzul Qur’an
e.       Murid yang khatam bin Nadzor, bisa melanjutkan ke tingkatan bil Ghoib. jika telah tamat MDA, bisa mengikuti program C di MDWI, dengan mendalami ilmu-ilmu penunjang tahfidzul Qur’an (tajwid, tafsir, ulumul Qur’an, Hadits, Tauhid dan Fiqh).
f.       Murid yang telah lulus MDW (khususnya program A) yang memenuhi syarat dapat melanjutkan pelajaran agama di Madrasah Diniyah Ulya (MDU) sekaligus menyelesaikan tahfidzul Qur’an dan Kuliah di pelbagai perguruan tinggi di Surakarta.[58]
7.       Program Pendidikan
  1. Pengajian Al-Qur’an .
  2. Pengajian kitab kuning
  3. Madrasah Diniyah
1)           Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA)
2)             Madrasah Diniyah Wus’ tho (MDW)
a)      Program A : Kelas Alfryah
b)     Progran, B : Kejas Imrithi
c)      Program C : Kelas Tahfidzul Qur’an ‘
(3) Madrasah Diniyah Ulya (MDU)
  1. Madrasah Tsanawiyah (MTs).
  2. Sekolah Menengah Pertama (SMP).
  3. Sekolah Menengah Atas (SMA).
  4. Madrasah Aliyah (MA).
8.       Materi Penunjang/Ketrampilan
  1. Seni baca Al-Qur’an
  2. Kaligrafi
  3. Kelompok ilmiah remaja (KIR)
  4. Latihan Kepemimpinan dan managemen pelajar (KKMP)
  5. Seni Hadrah (rebana)
  6. Elektronika
  7. Komputer
  8. Menjahit
9.       Hasil peran K.H. Umar Abdul Manan :
a.       Kumpulan shalawat wasiat.
1)      Shalawat wasiat tentang perintah mengaii.
2)      Ayo ngaji
3)      Pepeling/peringatan
4)      Kanjeng Nabi
5)      Syair taubat Abu Nawas (syair jawa)
b.       Kumpulan Puji-pujian
1)             Shalawat Nariyah
2)              Doa autad
3)             Shalawat istinshar
4)             Shalawat istislam
5)             Pujian istisqa’
6)        Pujian kalimat thoyibah
7)        Pujian taubat (istighfar)
8)        Pujian bulan ramadhan
9)        Pujian ihtiram
10)    Doa khatmil Qur’an
11)    Shalawat burdah
12)     Manaaib KH. Umar Abdul Manan[59]
10.   Di bawah ini adalah santri dari K.H. Umar Abdul Manan :
  1. Nur Hadi, BA.
  2. Muh. Abdul Kholiq
  3. Masrokan
  4. Muh. Chajir, S.Ag.
  5. Muh. Wujib
  6. Husain
  7. Salimi
  8. Siti Rosyidah, S.Ag.
  9. Sekhah Wal Afiah
  10. H. Wahib
Adapun perjalanan pengembangan Pondok Pesantren dari masa adalah sebagai berikut :
1930 – 1937    :       Berdirinya Masjid asrama-asrama kecil, adanya pengajian tasawuf, masih dalam bentuk klasikal dan pengajian di lakukan langsung kepada KH. Abdul Manan
1937 – 1939     :      Pengajian Al Qur’an, dan kitab kuning. Pengajian dilakukan secara sorogan dan wetonan, langsung kepada KH. Umar Abdul Mannan, hasilnya banyak santri yang hafidz pada saat itu
1940               :       Berdiri Madrasah Diniyah, mempelajari ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) yang bersumber dari kitab, seperti ilmu balaghoh, kitab imrity, kitab washoya (akhlaq), Kitab Alfiyah dan lain sebagainya.
1947               :       Berdiri asrama putra, untuk sementara hanya santri puta.
1967               :       Berdiri asrama putrid, dengan berjalannya waktu sudah mulai ada perkembangannya.
1970               :       Berdiri MTs dan SMP
1974               :       Berdiri Madrasah  Aliyah
1992               :       Sekolah Menengah Atas dengan perkembangan berdiri MTs dan SMP, Madrasah Aliyah, dan Sekolah menengah Atas ini masih tetap memasukkan madrasah diniyah dan pengajian Al Qur’an dalam pendidikan nasional selain itu kitab kuning juga masih diajarkan.
1995                :      Berdiri Madrasah Diniyah Ulya, program menghafal Al Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu agama yang setingkat dengan pergutruan tinggi, seperti ulumul hadist, ushul fiqih dan lain sebagainya.[60]
BAB IV
NILAI-NILAI FUNDAMENTAL
PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-MUAYYAD SURAKARTA
A.      Kondisi Pesantren
Pesantren Al-Muayyad Surakarta dapat tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalitasnya. Sebagai lembaga pendidikan asli (indergenous) Indonesia, menurut Azra’, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.[61]
Di sisi lain, sebagai lembaga pendidikan, pesantren dapat dipandang sebagai lingkungan yang khusus, dimana pesantren memiliki beberapa nilai fundamental yang selama ini jarang dipandang oleh kalangan yang menganggap dirinya modern. Dengan penerapan nilai-nilai tersebut dalam proses pendidikannya, pesantren sekalipun tradisional dapat membentuk pribadi pribadi yang unggul dan tangguh dalam menjalani hidup dengan perubahan ­perubahan yang menyertainya.
Dalam mekanisme kerjanya sistem yang di tampilkan pondok pesantren secara umum mempunyai keunikan di bandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya yaitu :
  1. Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh di bandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kyai.
  2. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problema non kurikuler mereka.
  3. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis yaitu perolehan gelar dan ijazah karena sebagian besar tidak mengeluarkan ijazah, sedangankan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridhoan Allah SWT semata.
  4. Sistem pondok pesantren mengutamakan keserderhanaan, idealisme, Persaudaraan, persamaaan, rasa percaya diri dan keberanian hidup.
  5. Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintah, sehingga mereka hampir tidak dapat di kuasai  oleh pemerintah.[62]
Sementara itu yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukkkan unsur-unsur pokoknya, yang membedakan dengan lemabaga pendidikan lainnya :
1.       Pondok
Merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kyai dan santrinya dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah  yang jauh untuk bermukim. Pada awal perkembangan pondok pesantren tersebut bukanlah semata-mata di maksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan kyai tetapi juga sebagai tempat training dan latihan bagi para santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri di bawah bimbingan kyai bekerja untuk memenuhi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesama warga pesantren. Tetapi dalam perkembangan berikutnya terutama pada masa sekarang tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.
2.       Adanya Masjid
Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsur-unsur pokok kedua dari pesantren, di samping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat berjamaa’ah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar dalam pesantren berkaitan dengan waktu sholat berjama’ah. Baik sebelum dan sesudahnya. Dalam perkembangnnya sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, di bangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk halaqoh. Pada sebagaian pesantren masjid berfungsi sebagai tempat i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan zikir maupun amalan lainya dalam kehidupan tarekat dan sufi.
3.       Santri
Merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dari dua kelompok, yaitu :
a.       Santri mukim
Adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
  1. Santri Kalong
Yaitu santri-santri yang yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren.
4.       Kyai
Merupakan tokoh sentral dalam pesantren yeng memeberikan pengajaran. Karena itu kyai adalah salah satu unsur yang yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran  perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai yang bersangkutan dalam mngelola pesantren. Dalam kontek ini, pribadi kai sangat menentukan sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Gelar kyai di berikan oleh masyarakat kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri, dalam perkembangannya kadang-kadang sebutan kyai kini juga di berikan kepda mereka yang mempunyai keahlian yang mendalam di bidang agama Islam, dan tokoh masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin  serta memberikan pelajaran di pesantren umumnya tokoh-tokoh tersebut adalah alumni pesantren.
5.       Kitab-kitab Islam Klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan adalah bahwa pada pesantren di ajarkan kitab-kitab klasik yang di karang para ulama terdahulu, mengenai berbagai ilmu pengertahuan agma Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran di mulai dengan kitab-kitb yang sederhana kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[63]
Demikian halnya yang dilakukan  pengasuh atau pimpinan Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta dalam menyelenggarakan pendidikan di pondok ini  Dan uraian tentang profil pondok ini dengan sistem pendidikan yang ada, sebagaimana dijelaskan dengan rinci dalam bab sebelum ini, maka dapat dimengerti bahwa Ponpes Al-Muayyad  tidak hanya memberikan pengajaran(ta’lim) saja, tetapi juga mengarah pada pendidikan (tarbiyah), dengan berusaha mengembangkan seluruh potensi santri secara bertahap menuju kesempurnaan. Dengan demikian ada beberapa nilai fundamental yang dapat diambil pelajaran dari proses pendidikan pesantren tradisional tersebut.
B.      Komitmen untuk Tafaqquh fiddin
Tujuan pendidikan pesantren pada umumnya adalah untuk tafaqquh, fiddin, dan tentunya pesantren akan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut Begitu juga tujuan pendidikan Ponpes Al Muayyad adalah untuk rnencetak insan-insan muslim yangtafuqquh.fiddin, pribadi muslim yang sesuai dengan ajaran Allah SWT dan mengamalkan ajaran tersebut dalam berbagai segi kehidupannya Oleh karena itu, pesantren tentu akan berpegang teguh terhadap konsep dan ajaran agama. Terbentuknya masyarakat yang berbudaya (civil society) adalah manakala Pondok pesantren komitmen terhadap nilai-nilai agama, karena dengan agama orang dapat melangkah dengan pijakan yang jelas. Sehebat apapun teori seorang         manusia sangat dipengaruhi       oleh sosio-kultur yang melingkupi-nya, sehingga sangat lokal dan kasuistis. Sementara kalau nilai-nilai agama sifatnya universal.
Lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa-masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awalnya kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian Al Qur’an dan tatacara ibadah yang di selenggarakan di masjid-masjid suarau, rumah-rumah  ustadz. Lembaga lembaga yang kemudian berkembang bernama pesantren terus tumbuh dan berkembang di dasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat aktifitas peribadatan dan endidikan. Santri  sebagai pencari ilmu, pengajaran, kitab kuning serta kyai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuannya pendidikannya dengan jelas, pesantren terutama pesantren-pesantren lama biasanya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Namun bukan berarti bahwa pendidikan pesantren itu berlangsung tanpa arah dan tujuan, hanya saja tujuan itu tidak dirumuskan secara sistematis dan di nyatakan di nyatakan secara exsplisit. Hal ini ada hubungannya dengan sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya dimana kyai mengajar dan para santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah dan tidak pernah di kaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial atau birokrasi kepegawaian.
Tujuan pendidikan  yang di selenggarakan dapat di ketahui dengan jalan menanyakan langsung kepada penyelenggara dan pengasuh pondok pesantren atau denga cara memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan baik dalam hubungannya dengan para santri maupun dengan dengan masyarakat sekitarnya. Mastuhu menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan pesantren  adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, beraklak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan kawulo atau abdi masyarakat sekaligus sebagai rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Rosulullah SAW mengikuti sunnah Nabi, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam keprbadian, menyebarkan agama dan menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat ‘izzul  Islam wal muslimin serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian inonesia”[64]
Dari rumusan tujuan tersebut tampak jelas bahwa pendidikan pendidikan pesantren sangat menekankan pentingnya Islam di tengah-tengah masyarakat sebagai sumber utama moral /akhlak agama yang merupakan kunci keberhasilan hidup bermasyarakat. Agama menurut WM. Dixon di yakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral, dan apabila penghargaan kepada ajaran agama merosot maka akan sulit mencari penggantinya.[65]
Di samping berfungsi sebagai lembaga pendidikan pesantren mempunyai fungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama Islam, hal ini bisa kita ketahui dari sejarah berdirinya pesantren-pesantren.
Kehadiran Pesanten baru selalu diawali dengan cerita “ Perang Nilai “ antara pesantren yang akan berdiri dan masyarakat sekitarnya dan diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren sehingga pesantren baru itu dapat di terima di terima untuk hidup di masyarakat dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral. Nilai baru yang di bawa pesantren tersebut untuk mudahnya di sebut “nilai putih” yaitu nilai moral keagmaan sedang nilai lama yang lebih dahulu ada di sebut “ nilai hitam” yaitu nilai-nilai rendah dan tidak terpuji seperti mo limo atau “lima nilai” yaitu : maling (mencuri), madon (melacur), minum (minum-minuman keras), madat (candu, narkotika) dan main (judi) dan nilai-nilai lain yang tidak terpuji seperti kebodohan, kedengkian, santet dan sebagainya.
Sehingga pesantren mempunyai eksistensi dalam tafaquh fiddin karena Agama atau al-din mengatur segala aspek kehidupan manusia, yang meliputi hubungan manusia dengan Allah, hubungan sesama manusia dalam masyarakat dan hubungan manusia dengan alam semesta. Karena itu komitmen tersebut dibangun dalam model yang tetap menonjolkan aspek kemanusiaan, ketuhanan, yang menunjukkan nilai keluhurannya dan menguatkan penetapannya sebagai insaana fi ahsani taqwim.
C.      Pendidikan Sepanjang Waktu (Fullday School)
Secara tehnis pesantren adalah tempat tinggal santri. Pengertian ini menunjukkan ciri pesantren yang paling penting yakni sebuah lingkungan pendidikan yang sepenuhnya total. Artinya seluruh aktifitas di lingkungan pesantren itu memiliki nilai pendidikan. Pesantren merupakan tempat belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut tentang ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari sumber berbahasa arab serta berdasarkan kitab-kitab klasik karangan ulama besar yang diajarkan dengan waktu yang lebih di pesantren.
Selama ini, sehebat apapun konsep tentang pendidikan, tidak ada sistem pendidikan yang memberikan pengajaran sampai sepanjang waktu (24 jam). Di pesantren hal demikian sudah menjadi agenda kegiatan harian. Selama 24 jam setiap hari, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, kyai beserta seluruh guru senantiasa membimbing, mengajar, dan mendidik santn-santrinya baik dengan keteladanan dalam cara hidup (sederhana, tawakkal, ikhlas selalu, syukur, dermawan, dan sebagainya), keteladanan dalam disiplin beribadah (disiplin shalat lima waktu secara berjamaah, disiplin puasa), maupun dengan mengajarkan ilmu-­ilmu yang dimilikinya dengan semangat pengabdian kepada Allah Yang Maha Pencipta.
[)engan pola fullday school dengan agenda yang padat, sebagaimana dipaparkan dalam bab sebelumnya, sejak santri bangun di fajar pagi dengan awal kegiatannya ibadah shalat yang dilanjutkan mengaji ayat-ayat suci Allah hingga malam hari ketika kegiatan telah dilaksanakan semua dan beranjak untuk istirahat, maka tiada waktu yang terlewatkan dengan sia-sia, sehingga tidak akan mengalami kerugian hidup sebagaimana tersirat dalam Al-Qur'an, surat Al-`Ashr.1-3
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.[66]
Sementara di sisi lain, santri terdidik untuk disiplin serta dapat mengelola waktu dengan baik, selain itu dengan pola pendidkan agama Islam yaitu mengusahakan secara sistematis dan pragmatis dalam membimbing anak didik yang beragama Islam untuk benar-benar menjiwai dan menjadikan sebagai bagian yang integral serba sebagai pedoman dalam hidupnya sehingga dapat  di jadikan sebagai alat pengontrol bagi perbuatan-perbuatannya, pemikiran dan sikap mentahnya. Sehingga santri di harapkan nanti agar tehindar dapat memebimbing diri sendiri bahkan keluaganya nanti agar terhindar dari siksa api neraka, sebagaimana firman allah SWT Surat At Tahrim ayat 6 sebagai berikut :
$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kapada mereka dan selalu mengerjakan apa yang di perintahkan-Nya.” [67]
D.      Pendidikan Integratif
Pendidikan Integratif adalah sebuah konsep pendidikan dengan mengkolaborasikan antara pendidikan formal, non-formal dan infonnal. Sistem pendidikan seperti ini yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Dengan kyai, guru dan santri yang hidup dalam satu kampus 24 jam sehari, memungkinkan untuk dapat menerapkan sekaligus mandat pendidikan yang dibebankan persekolahan, perguruan, organisasi kepemudaan, keluarga dan tempat-tempat ibadah.
Dengan demikian kyai sekaligus berfungsi sebagai pendidik, guru, orang tua, pembina dan pemimpin kegiatan-kegiatan keagamaan santri-santrinya. Antara kyai dan santri pola hubungannya seperti orang tua dan anak, sehingga sampai sekarang tidak pernah ada istilah mantan kyai atau mantan guru dan tidak ada sejarahnya santri mendemo kyai, yang ada hanyalah mengagumi dan menghormati dengan tulus, tidak hanya ketika mereka menuntut ilmu kepadanya tetapi setelah pulang ke rumah masing-masing rasa hormat dan kagum itu tetap bersemayam di hati para santri.
Dengan sistem asrama (pondok), kebersamaan antara kyai, guru dan santri dapat berlangsung terus menerus dan hubungan mereka menjadi semakin luas. Dengan keleluasaan ini dan frekuensi kontak yang lebih intens, segala persoalan segera akan mendapatkan perhatian dan pemecahannya. Perjumpaan Kyai, guru dan santri tidak hanya dibatasi oleh jam-jam belajar di kelas. Kondisi ini sangat balk bagi proses pembentukan kepribadian santri. Apabila kondisi seperti ini dipergunakan secara efektif, maka semakin besar peluang untuk dapat mencapai tujuan akhir pendidikan, yaitu mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan sebagai wujud penghambaan kepada Sang Khaliq.
Suasana pendidikan seperti diuraikan diatas tidak terdapat dalam pusat­pusat pendidikan lain, baik dalam sistem persekolahan, perguruan, kepemudaan dan keluarga. Siswa-siswi sekolah umum, misalnya, akan mengatakan “itu dulu guru saya” ketika mereka sudah tidak diajar oleh guru tersebut. Hubungan mereka hanya sebatas luasnya gedung sekolah, atau bahkan hanya seluas ruang kelas. Karena kebanyakan sekolah hanya memberikan pengajaran, hanya Transfer of knowledgesaja dan tidak diikuti oleh Transfer of values. Hubungan itu hanya didasarkan pada profesi dan materi.
E.      Pendidikan Seutuhnya
Dalam dunia pesantren, disamping memberikan ilmu pengetahuan secara formal yang tertuang dalam teks, juga langsung mempraktekkan secara kontekstual atau memadukan teori dengan praktek. Pendidikan di pesantren tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga berorientasi pada proses, yaitu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik (manusia) itu dengan selalu memperhatikan ketiga ranah kemanusiaan, yakni ranah kognitif (intelektual), ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik. Tidak ada proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu dari ketiga runah ini. Oleh  karena itu keterpaduan antara transfer of knowleclge, transfer of value dan transfer of skill sebagai wujud penggarapan ketiga ranah tersebut, menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
Di sisi lain, hal itu juga didasarkan   pada tujuan pendidikan Islam yang jelas mengarah kepada terbentuknya insan kamil yang berkepribadian muslim, yang mcrupakan perwujudan manusia seutuhnya, taqwa, cerdas, baik budi pekertinya (berakhlaq mulia), terampil, kuat kepribadiannya, berguna bagi agama, diri sendiri dan sesama.
Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka sistem pendidikan juga berorientasi pada persoalan dunia dan ukhrawi sekaligus, dan memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut. Dengan menyadari bahwa penciptaan manusia in’ menjadi khalifah di muka bumi Allah, maka untuk mengemban tugas kekhalifahan ini harus pula membekali diri dengan ilmu-ilmu keduniawian dan perkembangannya. Dalam konteks pondok pesantren, santri (siswa) dibekali dengan pendidikan ketrampilan (vocational), atau dengan kegiatan-kegitan ekstra­kurikuler seperti yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Muayyad. Selain program-­program ketrampilan, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan tersebut juga melatih dan membina sikap kepemimpinan santri.
Sementara itu, lembaga pendidikan lain pada umumnya berorientasi pada hasil (produk) dan lebih mementingkan transfer of knowledge daripada transfer of value dan transfer of skill. Ini berimplikasi pada menguatnya paradigma bahwa kesuksesan seseorang atau suatu bangsa dinilai dengan hal-hal yang sifatnya harus terukur dan teramati. Padahal ada hal lain yang amat penting, yakni terbentuknya generasi yang memiliki kekukuhan sikap, watak, dan budi pekerti.
Pendidikan yang cenderung bertumpu pada ranah kognitif akan melahirkan generasi genius secara intelektual, tetapi kering emosional dan rendah kualitasnya. Pengetahuan kognitif dan diikuti dengan kesadaran emosi saja tidak dapat menggali potensi menjadi realitas secara optimal, namun harus diikuti dengan penggarapan ranah psikomotorik. Penggarapan ranah psikomotorik terkait dengan pengembangan etos kejujuran, kerja keras, profesional, kesopanan dan kepekaan  sosial dalam bentuk disiplin dan latihan-latihan nyata.
F.      Adanya kebebasan, keragaman, kemandirian dan tanggungjawab
Pesantren lahir dari dan untuk masyarakat, sehingga masyarakat bebas menentukan model ataupun kurikulum pendidikan pesantren itu sendiri, apakah pesantren khusus Al-Qur’an, atau khusus Hadits, atau lebih mementingkan ilmu-­ilmu alat (Nahwu atau Bahasa), dan lain-lainnya. Dari keragaman ini justru memiliki nilai plus tersendiri, karena setiap pesantren mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri. Ini menjadi kekayaan tersendiri bagi khazanah pendidikan Islam.
Dengan munculnya dari masyarakat, maka tingkat kemandirian untuk menjalankan roda pesantren sangat kuat, tidak bergantung kepada pihak-pihak lain, berbeda dengan lembaga pendidikan formal yang harus menunggu peraturan, juklak, juknis sampai kucuran dana dan lain-lain.
Sikap kemandirian dalam pengelolaan pendidikan ini pada gilirannya akan melahirkan santri-santri yang memiliki sikap keswadayaan, penuh kemandirian dan percaya pada diri sendiri, tawakkal dalam arti luas, dan bahkan juga membebaskan orang lain yang masih serba bergantung sebagai wujud rasa tanggung jawabnya untuk menjadikan yang lebih baik. Oleh karena itu, sangat jarang -untuk tidak mengatakan tidak ada-alumni-alumni pesantren yang mengeluh kesulitan mencari pekerjaan sebab mereka justru berusaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain, atau paling tidak bagi dirinya sehingga tidak bergantung pada orang lain atau pihak lain, karena dengan tinggal mereka terbiasa mengatur kehidupan dan persoalan ­baik secara individual maupun kolektif mereka belajar sendiri serta bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi di pondok (mondok) persoalannya sendiri mengambil keputusan keputusannya.
G.      Pesantren adalah Masyarakat Kecil
Pesantren Al-Muayyad Surakarta merupakan miniatur sebuah masyarakat atau disebut dengan Small Community. Dalam dunia pesantren diajarkan bagaimana hidup bermasyarakat, kendati tanpa adanya materi sosiologi-antropologi, justru alumni pesantren lebih mudah beradabtasi dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Komunitas santri sebenarnya merupakan masyarakat Islam yang terdiri atas kelornpok-kelompok anak didik yang saling terikat oleh tradisi dan sistem, serta hukum-hukum yang khas. Kehidupan bersama khas pondok pesantren adalah kehidupan yang didalamnya kelompok-kelompok santri hidup bersama-sama di wilayah tertentu dan sama-sama berbagi iklim serta “makanan” yang sama. Kepentingan-kepentingan bersama dan ikatan-ikatan tertentu kehidupan islami mempersatukan santri dengan mengarahkan kepada setiap individu untuk mcmpunvai suatu rasa kesatuan.
Suasana kehidupan komunitas santri yang demikian itu diimplementasikan dalam kehidupan riil masyarakat dengan kyai sebagai “komandan”nya, kendati para kyai sangat tinggi ilmunya mereka tidak asing bagi masyarakatnya.
Hal ini berbeda dengan alumni sekolah pada umumnya, mereka merasa asing dengan masyarakatnya. Apalagi bagi mereka yang sudah mempunyai gelar tertentu, biasanya mereka merasa bahwa masyarakat bukan kelasnya sehingga enggan untuk membaur dengannya.
Santri yang menuntut ilmu dipesantren berasal dari berbagai ragam komunitas, etnis dan kelas sosial, tetapi mereka tinggal bersama dalam pengasuhan kyai atau guru dengan selalu menjaga sikap saling menghormati dan saling menghargai. Mereka pun mempunyai satu pemikiran ideologis yang sama bahwa tidak ada sesuatu hat yang menjadikan seseorang itu lebih mulia kecuali tingkat ketaqwaan kepada Allah SWT.
Inilah nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren yang kemudian membentuk pola pendidikan yang dapat dijadikan alternatif dalam menyelenggarakan pendidikan Islam.
Dari  pembahasan diatas menunjukkan bahwa sebenarnya pesantren lebih siap menghadapi perubahan-perubahan zaman, dengan model-model yang ditawarkannya, setidak-tidaknya pesantren mampu bergeliat dan menunjukkan kepada publik bahwa tipologi pesantren bukanlah tipologi yang selalu tertinggal.
Terlepas dari plus minusnya pesantren, yang jelas nilai-nilai fundamental pesantren, minimal dapat ikut menyelesaikan permasalahan­permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini, setidaknya dengan adanya sikap kemandirian dapat mengurangi beban pemerintah. Selain itu juga pesantren lebih mampu mcnciptakan generasi yang mampu bertanggungjawab.
BAB V
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Setelah dilakukan telaah atas pemasalahan penelitian ini melalui pembahasan-pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
  1. Pondok Pesantren Al-Muayyad sebuah pondok pesantren tradisional di Surakarta Jawa Tengah  telah memperlihatkan ketangguhan lembaga pendidikan Islam tradisional ini. Dalam usianya yang hampir seabad, dengan romantika yang dialaminya dan tetap menyandang identitas tradisionalnya, walaupun dalam pola pembelajaran dan sistemnya sudah menerapkan sistem modern Ponpes Al-Muayyad ini masih tetap berdiri megah dan berperan aktif dalam mencerdaskan umat.
  2. Ada beberapa nilai fundamental pendidikan pesantren yang kemudian membentuk pola pendidikan yang dapat dijadikan alternatif Pendidikan Islam di Indonesia. Nilai-nilai fundamental itu adalah : Komitmen untuk Tafaqquh FiddinPendidikan sepanjang waktu (fullday school), Pendidikan terpadu (Integratif}, Pendidikan seutuhnya (afektif, kognilif, psikomotorik), Keragaman yang bebas dan mandiri serta bertanggungjawab,  Pesantren adalah bentuk masyarakat kecil.
B.    Saran-saran
  1. Untuk elemen masyarakat yang selama ini memandang sebelah mata akan eksistensi Pondok Pesantren agar melihat pondok pesantren itu secara utuh dengan menelusuri sejarah perjalanan pondok pesantren di nusantara ini.
  2. Untuk Ponpes Al-Muayyad agar meningkatkan kualitas pendidikannya seiring dengan cepatnya laju informal dan globalisasi di dunia ini. Selain itu, penulis juga menghimbau kepada pimpinan dan segenap pengurus untuk memperhatikan tertib organisasi dan administrasi.
  3. Penulis berharap, sekecil dan sesederhana apapun kajian ini dapat bermanfaat bagi para pemerhati dan praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ari Ginanjar. 2001, Rahasia Sukses membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta : Arga
Al Isfahani, Al Roghib. 1992, Mufrodat alfadz al Qur’an, Damaskus : Dar al Qalam
Al Nahkawi, Abd. Al Rohman.1992, Ushul al tarbiyah al Islamiyah wa Asalibuha Damaskus : Dar al Fikr
Asrohah, Hanun.1999, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I.  Jakarta : Logos
Azra, Azyumardi. 1998, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, cet. I Jakarta : Logos
Departemen Agama RI, 1993,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Intermassa
Dewantoro, Ki Hajar. 1977, Pendidikan, bagian Pertama, cet 2, Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa
Dokumentasi .2005, Buku Profil Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, Surakarta
Dhofier, Zamakhsyari. 1982, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet I , Jakarta : LP3ES
Fajar, A. Malik. 1995, ”Pengembangan Pendidikan Islam”, dalam Nafis (Ed), Konstekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof Dr. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta : IPHI dan Paramadina
……………… 1999, “ Sintesa Antara Perguruan  Tinggi dan Pesantren : Upaya Menghadirkan wacana pendidikan Alternatif
Hasbullah, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta : PT Grafindo Persada
Ismail, Faisal.1984,  Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta : Bina Usaha
Jalal, Abd. Al fatah. 1997, Min al Ushul al tarbiyah fil al Islam, Mesir : Dar al Fikr
Kartodirjo, Sartono. 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
……………………..1977, Sejarah Nasional, Jakarta, PT. Balai Pustaka
Ludjito, Ahmad. 1996, Pendekatatan integratik Pendidikan agama pada sekolah di Indonesia, dalam H.M. Chabib Thoha dkk(ed)Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam Semarang : Pustaka pelajar
Madjid, Nurcholish. 1997, Bili-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan,Jakarta : Paramadina
Muhadjir, Noeng. 1998, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin
Muhammad al Naquid al Attas, 1990, Konsep Pendidikan Islam, Bandung : Mizan
Mudzhar, Atho’.1998, Pendekatan Studi Islam : Dalam Teori dan Praktek, cet 1, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Nazir, Moh. 1988, Metode Penelitian, cet ke 3, Jakarta : Ghalia Indonesia
Rais, Amien. 1989, Cakrawala Islam, antara cita dan fakta, Mizan, Bandung
Raharjo, Dawam. 1985,  “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, pengantar dalam M. dawam raharjo (ed),Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dri Bawah, Jakarta : P3M
Steenbrink, Karel A. 1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke – 1990 , Jakarta : Bulan Bintang
Saridjo, Marwan.  dkk,  1982, Sejarah Pondok Persantren di Indonesia, Jakarta : Dharma Bhakti
Tim Redaksi, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3 , Jakarta, PT. Balai Pustaka
Tilaar, 1997, Pengembangan Sumber daya manusia dalam Era Globalisasi, Jakarta, Grasindo
Thoha, Chabib. 1996, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : Grafindo
…………………… 2001“ Mencari Format Pesantren Salaf”, dalam Majalah Bulanan Rindang No. 9 Th.XXVI
Wahid, Abdurohman. 2001, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta : LKIS
Yunus, Mahmud. 1991, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mahmudiyah
Zarkasyi, Imam.1965, Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha Untuk Melanjutkan Hidupnya” dalam Al jami’ah No. 5-6 Th. Ke –IV Sept – Nop. 1965 (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga)
Zuhri, Saefuddin. 1979, Sejarah kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, Bandung : PT Al Ma’arif
Ziemek, Manfred. 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, cet . Jakarta : P3M
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PONDOK
AL-MUAYYAD :
  1. Bagaimana Letak geografis Pondok Pesanten Al-Muayyad Surakarta ?
  2. Bagaimana Sejarah berdirinya  Pondok Pesantren Al-Muayyad  Surakarta ?
  3. Bagaimana tujuan berdirinya PP. Al-Muayyad Surakarta ?
  4. Fungsi Ponpes Al-Muayyad Ska ?
  5. Bagaimana Struktur kepengurusan Pondok Pesanten Al-Muayyad Surakarta ?
  6. Bagaimana Visi, Misi landasannya Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta ?
  7. Keadaan demografi ?
  8. Bagaimana jadwal harian santri harian dan mingguan ?
  9. Eksistensinya keberadaan Al-Muayyad ?
10.  Kurikulum dan sistem pengajarannya ?

ABSTRAK
MURSIDI, Sistem pendidikan Pesantren tradisional sebagai alternative pola pendidikan Islam di Indonesia (Studi pada pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta)
Pondok Pesantren merupakan salah satu satu lembaga

[1] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta : Paramadina, 1997), hal.3
[2] M. Dawam Raharjo, “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed),Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah (Jakarta : P3M, 1985), hal. vii.
[3] Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, (Yogyakarta : Bina Usaha, 1984), hal. 69
[4] Chabib Thoha, “ Mencari Format Pesantren Salaf”, dalam Majalah Bulanan Rindang No. 9 Th.XXVI April 2001, hal. 87
[5] Azyurmardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, cet. I (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 87.
[6] Yang dimaksud dengan Islam tradisional ialah Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran ulama ahli fikih, hadits, tafsir, tauhid dan tasawuf yang hidup antara abad ke-7 sampai dengan abad ke-13. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet I (Jakarta : LP3ES, 1982), hal.1
[7] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Seri XX, (Jakarta , INIS, 1994), hal. 58
[8] Ki Hajar Dewantoro, Pendidikan, bagian Pertama, cet 2, (Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977) hal.370
[9] Malik Fajar, “ Sintesa Antara Perguruan  Tinggi dan Pesantren : Upaya Menghadirkan wacana pendidikan Alternatif, dalam Nurcholis, op.cit, hal.112
[10] Supriyadi, Strategi Peningkatan Mutu pendidikan dengan metode Pondok pesantren. (Studi Kritis tentang Manajemen di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Kismantoro Wonogiri), Tesis MSI, Yogyakarta :UII, 2005, hal. 89
[11] Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : Grafindo, 1996) hal. 11
[12] Abd al Fatah Jalal, Min al Ushul al tarbiyah fil al Islam, (Mesir : Dar al Fikr, 1997) hal. 27
[13] Syed Muhammad al Naquid al Attas, Konsep Pendidikan Islam, (Bandung : Mizan, 1990) hal.  60
[14] Al Roghib al Isfahani, Mufrodat alfadz al Qur’an, (Damaskus : Dar al Qalam, 1992) hal 336
[15] Abd al Rohman al Nahkawi, Ushul al tarbiyah al Islamiyah wa Asalibuha (Damaskus : Dar al Fikr 1992) hal. 32
[16] A Malik Fajar, ”Pengembangan Pendidikan Islam”, dalam Nafis (Ed), Konstekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof Dr. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta : IPHI dan Paramadina, 1995) hal. 507
[17] Ari Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta : Arga 2001), hal.xxxviii
[18] Sayid Quthb, Konsep Pendidikan Islam, 1984, t.p, hal. 27-28
[19] Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam : Dalam Teori dan Praktek, cet 1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hal. 47
[20] Moh Nazir, Metode Penelitian, cet ke 3 (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988) hal. 235
[21] Pendekatan historis yaitu memeriksa secara kritis peristiwa, perkembangan dan pengalaman masa lalu, kemudian mengadakan intepretasi terhadap sumber-sumber informasinya. Lihat, Kamus Research, (Bandung : Angkasa, 1984) hal 120
[22] Pendekatan sosiologis yaitu melihat gejala dari aspek social, interaksi dan jaringan hubungan social yang kesemuannya mencakup demensi social kelakuan manusia. Lihat Sartono kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama , 1990 hal. 87
[23] Pendekatan fenomenologis artinya memahami arti peristiwa dan kaitannya dalam situasi tertentu.
[24] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998) hal. 47
[25] Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, cet (Jakarta : P3M, 1986), hal.8
[26] Zamakhsyari Dhofier, Op.cit. hal. 18
[27] Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Persantren di Indonesia, (Jakarta : Dharma Bhakti, 1982), hal. 9-10
[28] Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal. 44
[29] Imam Zarkasyi, Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha Untuk Melanjutkan Hidupnya” dalam Al jami’ah No. 5-6 Th. Ke –IV Sept – Nop. 1965 (Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 1965), hal. 24-25
[30] Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal. 6
[31] Pesantren merupakan sebutan bagi lembaga pendidikan Isam tradisional di Jawa pada umumnya. Sedangkan di Acah di kenal dengan sebutan Rangkang, Dayah, meunaseh. Di Minangkabau di sebut Surau, dan di Sumatera pada umumnya di sebut madrasah. Lihat Karel A Steenring, pesantren madrasah Sekolah : Pendidikan Islam dalam kurun modern, (Jakarta : LP3ES, 1986), h. 21
[32] KH. Saefuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, (Bandung : Al Ma’arif, 1979), h. 263
[33] Marwan saridjo, Op. cit., hal.25
[34] Identitas pesantren pada awal pertumbuhannya adalah sebagai pusat penyebaran agama Islam lihat M. Dawam Raharjo, Log. Cit.
[35] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I (Jakarta : Logos, 1999), hal. 145
[36] KH. Saefudin Zuhri, Op.cit, hal. 534 – 535
[37] Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke – 19 , (Jakarta : Bulan Bintang, 1984) hal. 165 -172
[38] Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mahmudiyah, tt ), hal. 196
[39] Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan bintang, 1983), hal. 226 – 227
[40] Karel A Steenbrink, Pesantren Sekolah, Madrasah : Pendidikan Islam dalam kurun Modern, ,(Jakarta :LP3ES, 1986),  hal. 24
[41] Zamakhsari Dhofier, Op. cit. hal. 33
[42] Sartono Karto Dirjo, Sejarah Nasional, (Jakarta : Balai Pustaka, 1977), hal. 131
[43] Ki Hajar Dewantara, Op. Cit, hal. 371
[44] Data  Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia tahun 1997 (Jakarta : Diroktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997)
[45] Abdurrohman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta : Lkis, 2001) hal. 56 – 59
[46] Wawancara dengan Rozak Safawi, di Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta, tanggal 15 Pebruari 2007
[47] Observasi, Sejarah berdirinya PP. Al-Muayyad Suarakarta, 5 Maret 2007
[48] Dokumentasi : Buku Profil Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, tt. hal. 2-9
[49] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2002), hal. 1262
[50] Tilaar, Pengembangan Sumber daya manusia dalam Era Globalisasi, (Jakarta, Grasindo, 1997), hal 13
[51] Tim redaksi, Op. cit. hal. 749
[52] Tilaar, Op Cit, hal.13
[53] Dokumentasi : Buku Profil  Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, hal. 10
[54] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Intermassa, 1993), hal. 847
[55] Wawancara dengan Masrukhan, di PP. Al-Muayyad Tanggal 01 April 2007
[56] Dokumentasi : Buku Profil Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, hal. 15
[57] Observasi, kegiatan santri PP. Al MuayyadDokumentasi : Profif Pondok Pesantreu Al-Muayyad Surakarta, hal. 22-23
[58] Dokumentasi : Buku Profil Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta hal. 12
[59] Abdul Mannan : Buku kumpulan shalawat wasiat dan pujian-pujian, tt, tp
[60] Wawancara dengan Rozak Shofawi (Pengasuh PP. Al Muayyad Surakarta) pada tanggal 15 April 2007
[61] Azumardi Azro’, esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, cet. 1, (Jakarta : Logos wacana Ilmu, 1998), h. 87
[62] Amien Rais, Cakrawala Islam, antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1989) hal. 162
[63] Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia : lintasan sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996), hal. 142-144
[64] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian tentang unsur dan nilai Sintem pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994)  hal. 56
[65] H. A. Ludjito, Pendekatatan integratik Pendidikan Agama pada sekolah di Indonesia, dalam H.M. Chabib Thioha dkk(ed)Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Semarang : Pustaka Pelajar, 1996) hal. 297
[66] Departemen Agama, Op . Cit. hal.1099
[67] Departemen Agama, Op . Cit. hal.951

1 komentar:

xenoeseasom mengatakan...

4x8 sheet metal prices near me
› store › 1/3/2021/ ford focus titanium › store winnerwell titanium stove › 1/3/2021/ The classic 4×8 sheet titanium rod in leg metal is the centerpiece at the citizen super titanium armor end of the pyramid. It is made with 2 pieces of copper and has an intricate structure of 3-4" (6  titanium frame glasses Manufacturer: Atilinko Technology