Sabtu, 26 Mei 2012

Problem Pengembangan Ekonomi Pesantren

Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan non profit sering dikaitkan dengan prinsip keikhlasan yang dimiliki guru-gurunya dalam mengajar, mereka mengajar tanpa pamrih dan terkadang hidup mereka “diwakafkan” untuk pesantren. keikhlasan para pendiri dan guru gurunya menjadi salah satu alasan mendasar perkembangan pesantren yang begitu cepat. pada tahun 2006 saja di indonesia ada 16.015 buah pesantren, sedangkan pada tahun 2003 jumlahnya masih 14.067 buah ( Sumber:Statistik Depag ).
Juga jiwa kesederhanaan selalu ditanamkan dipesantren. prinsip ini mengajarkan santri untuk hidup selalu dalam kesederhanaan, menghindari hal-hal yang berbau poya-poya atau tidak bermanfaat. kehidupan dijalankan dengan apa adanya seperti air yang mengalir.
Jiwa keikhlasan dan kesederhanaan ini harus terus dipertahankan, tetapi jangan sampai hal ini membuat pesantren tidak merasa berkewajiban untuk memperhatikan kesejahtraan guru-guru dan berusaha untuk “menstandarkan” fasilitas pendidikannyanya”, bahkan kalau mampu sekaligus memodernkannya. banyak pesantren-pesantren khususnya pesantren salaf yang mempunyai fasilitas pendidikan dibawah standar. contohnya dalam hal asrama santri, satu kamar yang berukuran sekitar 3 x 2m dihuni oleh delapan santri. karena kamarnya penuh dengan lemari para santri terkadang harus tidur di kelas, di mesjid, jerambah dan hanya beralaskan sajadah dan berbantalkan peci di kepala. Fasilitas yang dibawah standard ini sudah saatnya di evaluasi.
Tidak salah lagi kalau alasan itu semua adalah ketiadaan dana untuk memperbaiki fasilitas, atau bahkan “tidak terpikirkan” oleh para kiyainya, dianggapnya itu semua merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan ciri khas dari pesantren.
Banyak pesantren yang mulai tergugah untuk memperbaiki fasilitas pendidikannya salah satunya dengan pengembangan sektor ekonomi dan kemandirian. tetapi yang disayangkan ada juga pesantren yang hanya meminta dan menanti bantuan orang lain. bahkan ada yang meminta di jalanan, hal ini agak kontradiktif dengan prinsip Islam al yadul ulya khoirun minal yadis sufla.
Bisa dimaklumi kenapa sebagian pesantren tidak bisa mengembangkan sektor ekonominya. saya coba untuk meringkas beberapa hal mendasar yang menjadi kendala dalam pengembangan ekonomi pesantren, diantaranya:
a. kebutuhan kiyai dan orang dekatnya
pesanten biasanya menjadi tempat bagi keluarga dekat kiyai, seperti anak, cucu dan sebagainya. Mereka kadang bertumpu secara ekonomis terhadap santri, apakah dalam bentuk penyediaan makanan, bahan kebutuhan sehari-hari, atau yang lainnya. jumlah pesantren yang didirikan oleh perorangan untuk tahun 2006 adalah 6.326 atau 39,5% dari total pesantren. dalam pesantren perorangan ini biasanya pendiri mempunyai otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan termasuk dalam kepputusan ekonomi. kegiatan perekonomian yang ada sering dikelola pribadi dan dikelola untuk kepentingan kiyai dan keluarga.

b. sumberdaya manusia.
Berbicara tentang kwalitas SDM, sesunguhnya tidak hanya terjadi di kalangan ponpes saja, tetapi dalam skala yang lebih luas, yakni masyarakat Indonesia. Data tentang human development index ( HDI ) yang disajikan United Nation for Development program menunjukan bahwa peringkat kwalitas SDM di Indonesia tahun 2000 berada pada urutan 109. Sebagaimana diketahui bahwa kwalitas pendidikan islam berada dibawah pendidikan umum. Kondisi ini belum mendukung terciptanya SDM yang handal di kalangan pesantren. disamping itu banyaknya guru pesantren yang tingkat pendidikan formalnya rendah, bahkan 35% diantaranya tidak mengenyam pendidikan formal. sedangkan 33,3 % dari jumlah gurunya merupakan tamatan SMA atau dibawahnya ( statistik Depag 2006 )

c. networking
kurangnya keberanian Ponpes melakukan terobosan keluar, atau membuat jaringan, baik antara ponpes ataupun antara ponpes dengan institusi lain. hal ini disebabkan beberapa hal, pertama rasa kurang percaya diri yang dimiliki para guru pesantren bila berhubungan dengan instansi luar, apalagi instansi besar, padahal pesantren mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki seorang enterpreneur dalam “bernetwork”, yaitu sifat amanah dan kejujuran. kedua,kurang memahami arti dan manfaat sebenarnya dari “networking”. sebagai teladan, Ponpes al ittifaq dengan strategi kerjasama dan networkingnya bisa mengembangkan agrobisnisnya.

d. kelembagaan
kendali organisasi berpusat hanya pada satu orang ( kiyai ), inilah yang banyak terjadi di ponpes. Maka dapat dipastikan bahwa system keorganisasian dan kelembagaan tidak begitu berjalan dan aspirasi para guru untuk pengembangan ekonomi kadang terhambat di puncak pimpinan.
e. tidak adanya modal
Semua kegiatan perekenomian akan buntu bila terbentur dengan masalah ini. motivasi jadi hilang dan gagasan seakan tidak berguna. Padahal modal usaha itu tidak selalu dengan uang, salah satunya dengan modal kepercayaan. Sebagai lembaga agamis tentunya pesantren bisa lebih dipercaya dari pada institusi yang non agamis bila bisa mengelola dengan professional.
Sudah saatnya pesantren mengembangkan kemandiriannya bahkan harus menjadi agen pembangunan di masyarakat. Dan hendaknya pesantren terus menanamkan jiwa keikhlasan dan kesederhanaan dalam jiwa santri dan gurunya, sembari terus memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan kesejahtraan guru dan pengembangan sistem pendidikannya.

Tidak ada komentar: