FILSAFAT MORAL ARISTOAristoteles (384-322 SM) adalah murid terkemuka Plato (427-348 SM), seorang tokoh pemikir idealis. Meski demikian, ia tidak sependapat dengan gurunya yang menyatakan bahwamanusia telah mengenal idea Yang Baik dan bahwa hidup yang baik bisa tercapai dengankontemplasi dengan idea Yang Baik tersebut. Menurut Aristoteles, kehidupan yang baik justruharus dicari dan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dari realitas inderawi kongkret inilah akal budi manusia mengabstraksikan apa yang disebut kebaikan.Berangkat dari pendekatan --yang serba-- empiris yang digunakan Aristoteles ini, kitaakan mencoba membahas konsep-konsepnya tentang moral.
Teleologis.
Pembahasan etika biasanya dibedakan antara etika deontologis dan teleologis.Deontologis menyatakan bahwa kualitas etis tindakan tidak berhubungan dengan akibattindakan, tetapi bertumpu pada tindakan itu sendiri, benar atau salah. Misalnya, bahwa dustaadalah tidak benar secara etis, entah baik atau buruk akibatnya.
Sebaliknya, teleologismenyatakan bahwa tindakan bersifat netral; baru dinilai benar atau salah setelah melihat akibatatau tujuannya. Sebuah tindakan dinilai benar jika akibatnya baik, salah jika akibatnya tidak baik.Etika Aristoteles termasuk teleologis, karena ia mengkaitkan tindakan dengan dampak atau tujuan tertentu; kebahagiaan. Tindakan dinilai baik sejauh mengarah pada kebahagiaan dansalah jika mencegah kebahagiaan.
Kebahagiaan siapa? Kebahagiaan si pelaku. Karena itu, etikaAristoteles tidak Universalistik, tetapi bisa dikata egoistik, karena lebih menekankan dampak bagi pelaku, bukan dampaknya pada orang umumnya.
Eidomonia Sebagai Ukuran Baik Buruk.
1
Etika deontologis biasanya dinisbatkan pada Kant (1724-1804 M). Lebih jelas, lihat Franz Magnis Suseno,
13 Model Pendekatan Etika
, (Kanisius, Yogya, 1997), 151 dan seterusnya.
2
Franz Magnis Suseno,
13 Tokoh Etika
, (Kanisius, Yogya, 1996), 41; Mohammad Hatta,
Alam PikiranYunani
, (Tintamas, Jakarta, 1986), 132-134.
3
Namun, menurut Magnis, egoistik disini bukan berarti hanya memperhatikan diri sendiri, tapi justru demimerealisasikan hakekat sosialnya sebagai zoon politikon. Jadi tidak egoistik dalam makna yang sesunguhnya.Magnis,
Ibid
, 41.
Eidemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus penentu baik buruknya tindakandalam etika Aristoteles.
Menurutnya, sesuatu dinilai baik jika tujuannya mengarah pada pencapaian kebahagiaan, dan dinilai buruk jika tidak diarahkan kepada kebahagiaan.
Persoalannya, apa yang dimaksud sebagai bahagia dalam pandangan Aristoteles? Apaunsur-unsurnya? Bagaimana cara mencapainya?Sebelum mendiskusikan masalah kebahagiaan dalam perspektif Aristoteles, ada baiknyakita lihat konsep kebahagiaan dalam perspektif tokoh-tokoh lain. Menurut Epicuras, kebahagiaanadalah kenikmatan. Seseorang akan bahagia jika merasa nikmat, dan apa yang dimaksud nikmatdi sini adalah adanya ketentraman jiwa yang tidak dikejutkan dan tidak dibingungkan olehsesuatu dengan cara menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak mengenakkan. Jelasnya, bahagiadalam pandangan Epicuras adalah bebas dari rasa sakit dan penderitaan.
Pengertian yang hampir senada juga diberikan John Stuart Mill. Menurut Mill, kebahagiaan adalah kesenangan (
pleasure
)dan bebas dari perasaan sakit (
pain
) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit(
pain
) dan tidak adanya kesenangan.
Sementara itu, menurut Agustinus, kebahagiaan adalah menyatunya rasa cinta kasihmanusia dalam Tuhan. Dalam pandangan Agustinus, tujuan hidup manusia adalah persatuan diridengan Tuhan.
Sedang dalam pandangan Stoa, kebahagiaan adalah kemampuan diri untuk menahan dorongan nafsu (
self sufficiency
) dengan cara menyatukan diri dan tunduk pada hukumalam. Jelasnya, kebahagian Stoa terletak pada kemampuan seseorang untuk --meminjam istilahJawa-- “menerima ing pandum”. Menerima apa yang menjadi bagiannya.
Bagaimana konsep kebahagiaan Aristoteles? Menurut Aristoteles, kebahagiaan manusiaterdapat pada aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Apa aktivitas khusus pada manusia yang mengarah pada kesempurnaanya? Menurut Aristoteles, potensi khas manusiayang membedakan dari binatang atau makhluk lain adalah akal budi dan spiritualitasnya. Tidak ada satupun mahluk hidup selain manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, aktivitas danaktualitas manusia yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk aktivitas yangmelibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena manusia hidup dalam alam dunia danmasyarakat, maka aktualisasi dari akal budi tersebut bukan semata-mata diarahkan pada YangMaha Budi dan Idea, tetapi juga diarahkan pada kehidupan konkrit melalui partisipasi dalamkehidupan masyarakat. Tegasnya, kebahagiaan tercapai dengan cara memaksimalkan potensi diri
4
Tanggapan dan kritik-kritik yang cukup bagus terhadap doktren eudemonisme ini, lihat De Vos,
Pengantar Etika
, (Tiara Wacana, Yogya, 1987), 168-176.
5
Franz Magnis Suseno,
13 Tokoh Etika
, (Kanisius, Yogya, 1996), 41; Muhammad Hatta,
Alam Filsafat Yunani
, (Tinta Mas, Jakarta, 1986), 132-134.
6
Franz Magnis Suseno,
Ibid
, 49.
7
Ibid,
181.
8
Ibid,
69
9
Ibid,
56-59. Lihat pula Poespoprodjo,
Filsafat Moral Kesusilaan Dalam teori dan Praktek
, (Bandung,Remaja Karya, 1986), 48.
untuk memandang realitas ruhani di satu sisi, dan aktif dalam berpartisipasi dalam kehidupanmasyarakat disisi yang lain.
having
) tapi lebih pada kemampuan aktualisasi diri (
being
).Yaitu, kemampuan menyatakan dan menjadikan potensi-potensi yang dimiliki atau “mimpi-mimpi” menjadi kenyataan.
Dengan demikian, jika kebahagiaan Epicuras dan John S. Mill terletak pada kemampuanlari dari rasa sakit, kebahagiaan Agustinus terjadi dalam Tuhan dan Stoa dalam alam,kebahagiaan Aristoteles terletak pada diri manusia sendiri, pada aktivitasnya untuk mengembangkan potensi-potensi hakikinya untuk menjadi sempurna. Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa dilakukan sembarangan.Menurut Aristoteles, aktivitas yang menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asas“keutamaan”. Hanya aktivitas yang disertai keutamaan yang dapat membuat manusia bahagia.Di samping itu, aktivitas tersebut mesti dilakukan secara stabil,
dalam jangka waktu yang panjang, bukan hanya sporadis. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah.
Aktualisasi Diri Sebagai Kebahagiaan.
Bagaimana aktualisasi diri bisa dinilai sebagai kebahagiaan? Dalam pandanganAristoteles, aktualisasi diri yang dinilai sebagai kebahagiaan adalah aktualisasi yangmengakibatkan kesempurnaan pada yang bersangkutan. Kesempurnaan mata adalah melihat,kesempurnaan makhluk hidup adalah mengembangkan psikhisnya, dan kesempurnaan manusiaadalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia; akal budi danruhaninya. Dengan demikian, kebahagiaan manusia sama dengan menjalankan aktivitas yangspesifik baginya, yaitu mengembangkan pemikiran dan spiritualitas. Bagi manusia, kebahagiaanadalah memandang kebanaran.
Akan tetapi, kebenaran yang harus dipandang tersebut tidak hanya yang ada pada alamIdea sebagaimana dikatakan Plato. Benar bahwa manusia mengandung dimensi-dimensi ruhanidari alam transendent, tetapi ia juga mengandung wadag yang inderawi; begitu pula, ia bukan pula wadag tetapi juga mengandung nilai ruhani. Manusia adalah paduan dimensi ruhani danduniawi. Karena itu, kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan cara bertindak (aktif)mengaktualisasikan potensi atau nilai-nilai luhur manusia yang berasal alam transendent dalamkehidupan nyata, riil.
1410
Bertens,
Sejarah Filsafat Yunani
, (Kanisius, Yogya, 1997), 160-1.
11
Magnis Suseno,
Op Cit
, 42.
12
Bertens,
Op Cit
, 161
13
Berten,
Op Cit.
161.
14
Ibid.
of 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar